replica watches Merefleksikan Ulang Hakikat Pendidikan dan Sekolah Modern bersama Ivan Illich - Bestari

Merefleksikan Ulang Hakikat Pendidikan dan Sekolah Modern bersama Ivan Illich

Apa itu pendidikan?

Sepintas, pertanyaan ini terdengar sederhana. Sebagian besar orang bisa menjawab pertanyaan ini semudah mereka menjawab siapa nama mereka. Sebagai sebuah terma linguistik, makna denotatif yang bisa diperoleh di kamus tentang ‘pendidikan’adalah sebagai berikut: “Aktivitas atau proses pengajaran seseorang dalam lingkup institusional seperti sekolah dan kampus.” Jika pertanyaan ini diajukan pada Ivan Illich, jawabannya tidak akan sesederhana itu.

Dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari kita selalu diajarkan betapa pentingnya pendidikan di sekolah. Kata mereka, dengan bersekolah, peserta didik akan menjadi pandai, berakhlak, dan meraih apa yang kita inginkan dalam hidup. Kata pemerintah, pendidikan bisa menghapuskan kemiskinan. Media menegaskan anggapan ini dengan mengatakan bahwa pendidikan adalah fondasi pembangunan kehidupan yang lebih baik bagi manusia. “Manusia yang tidak pernah bersekolah adalah manusia paling malang di dunia,” kata seorang kepala sekolah dalam sebuah ceramahnya di hari Senin pagi.

Tentu saja, ini memunculkan sebuah pertanyaan lain. Jika bersekolah memang punya pengaruh sebesar itu bagi manusia, lantas sebenarnya apa tujuan sekolah yang sebenarnya. Para peserta pendidikan, ketika ditanya mengapa mereka bersekolah, biasanya memberi jawaban singkat dan sederhana: ingin mendapatkan pekerjaan. Ingin jadi dokter. Ingin menjadi insinyur. Ingin menjadi guru. Para pekerja pun, ketika ditanya pertanyaan yang sama, jawabannya tidak jauh berbeda. Supaya mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang mereka jalani saat ini.

Tujuan yang diberikan sekolah kepada peserta didiknya tidak pernah mampu melampaui persoalan pekerjaan. Lantas jelas sudah. Bagi peserta didik, tujuan mendapatkan pendidikan di sekolah adalah agar bisa mendapatkan pekerjaan.

Inilah yang disebut Ivan Illich sebagai “man cannot visualize anything which the institute cannot do to him” (Illich, 1970:46). Manusia tidak mengetahui tujuan pendidikan konvensional selain apa yang ditanamkan ke dalam pikirannya, dan ia tidak tahu apa-apa selain yang bisa diberikan pendidikan konvensional baginya.

Di sinilah pertanyaan sebenarnya bermula. “Apa yang bisa diberikan pendidikan konvensional bagi manusia?” Ivan Illich percaya bahwa pendidikan konvensional tidak mampu memberikan apa yang sebenarnya mereka butuhkan. Yang diberikan pendidikan konvensional, menurut Illich, adalah indoktrinasi dan imposisi nilai-nilai institusi.

Untuk memahami apa yang dimaksud Illich di sini, ada baiknya terlebih dahulu menjawab pertanyaan tentang apa itu pendidikan di mata Illich. Pertama, kita harus memisahkan apa itu pendidikan dan pengajaran. Bagi Illich, apa yang selama ini dipahami masyarakat sebagai pendidikan (education) sejatinya adalah pengajaran (teaching). Ketika seorang anak mengenyam pendidikan dari jenjang sekolah dasar hingga universitas, yang ia dapatkan bukanlah pendidikan, namun pengajaran.

Oleh karena itu, seorang yang telah “mengenyam pendidikan” di sekolah belum tentu telah mencicipi pendidikan yang sebenarnya. Yang ia lalui selama setidaknya lima belas tahun adalah pengajaran, sebuah proses internalisasi nilai institusi yang dibentuk oleh unsur-unsur seperti masa asuh temporer, seleksi, indoktrinasi, dan pembelajaran tersistem (Illich, 1970:13).

Gambar: Pexels/@fauxels

Bagi Illich, sekolah berfungsi sebagai lembaga yang menginisiasi nilai Unending Consumption pada peserta didik. Sekolah bertugas mempersiapkan peserta didik untuk menjadi salah satu elemen yang menyokong keberlangsungan masyarakat konsumerisme. Ketika beberapa peserta didik sudah mulai mempertanyakan apa tujuan dari pekerjaan itu sendiri, guru di hampir seluruh sekolah akan menjawab hal yang serupa : Supaya kamu bisa membeli mobil, rumah, televisi, yacht mewah. Supaya kamu bisa bermalam di Burj Khalifa. Supaya kamu bisa mendaki Everest. Supaya kamu bisa membeli kebanggaan orang tuamu.

Untuk memantapkan indoktrinasi ini, sekolah menanam pandangan dalam benak peserta didik bahwa segala relasi dalam masyarakat adalah soal hubungan valuasi komoditas. Mungkin pernah di suatu masa guru di sekolah memuji kita “kamu berharga”. Implikasi dari kata sifat ber-harga bisa jadi terdengar miris. Kita adalah manusia yang punya ‘harga’, dan nilai kita diukur dari harga itu. Segalanya adalah sesuatu yang bisa diukur berdasarkan nilai transaksionalnya. Ijazah adalah benda yang bisa dinilai. Pertambahan usia juga sesuatu yang bisa dinilai. Hubungan kekeluargaan dan persahabatan sudah masuk ke dalam ruang komoditas. Identitas diri bahkan saat ini bisa diberi valuasi. Tubuh dan organ-organ di dalamnya juga punya valuasi, apabila pemiliknya punya niatan untuk menjualnya.

Sekolah, simpul Illich, memasung peserta didik dalam sekat-sekat mitos sosial, memaksa mereka untuk berlomba dalam perlombaan konsumsi progresif yang diagung-agungkan secara kolektif (Illich, 1970:20). Manusia dibutakan untuk tak bisa melihat lebih dari apa yang diajarkan oleh institusi. Apa lagi yang dibutuhkan manusia selain mengonsumsi segala sesuatu yang bernilai di sekitarnya? Dalam repetisi konsumsi tiada akhir, manusia kesulitan memahami dirinya sendiri melampaui apa yang ditetapkan sekolah baginya. Sekolah menjadi penjara yang lebih sempurna daripada panem et circenses. Seperti kata Michel Foucault, bukankah mengejutkan bahwa penjara terlihat sama dengan sekolah?

Berkebalikan dengan pengajaran sekolah yang menekankan pada otoritas institusi, pendidikan yang baik menekankan pada kebebasan peserta didik. Bagi Illich, pendidikan adalah soal kebebasan. Di sana tidak ada obligasi yang mengekang, atau aturan yang mendiskriminasi. Pembelajar tidak boleh dipaksakan mengikuti kurikulum tertentu. Pendidikan tidak bisa dibatasi oleh ruang kelas dan formalitas kertas. Mereka yang tidak memiliki diploma juga harus dihargai kredibilitasnya, karena pendidikan yang baik bisa diperoleh dalam ruang non-sekolah.

Lebih dari lima puluh tahun berlalu sejak Ivan Illich menerbitkan nubuatannya tentang sistem pedagogi yang kita kenal. Dan kita semakin menjauh dari angan pendidikan murni yang diimpikan Illich. Setengah abad sudah cukup untuk semakin membelenggu manusia dalam perlombaan konsumsi progresif, tepat seperti nubuatan Illich. Tidak ada perkembangan upaya pembebasan manusia dari sekolah.

Sekolah terus-menerus menjalankan indoktrinasi mitos yang telah diperingatkan Illich. Kita terus diajak oleh para pahlawan tanpa tanda jasa untuk berkubang dalam lumpur ilusi sistem destruktif. Laju pembelajaran peserta didik dibatasi oleh sekat-sekat struktur kurikulum yang membatasi kebebasan mereka, meskipun itu bertentangan dengan ideal kebebasan pendidikan yang seharusnya. Mereka dipaksa menekuk identitas diri mereka, mengikuti nilai-nilai yang diinginkan institusi.

Para akademisi yang seharusnya bertanggung jawab berdiri sebagai garda terdepan kritik sistem pendidikan, nyatanya terbuai juga oleh hasutan sistem sekolah. Daripada melancarkan kritik terhadap sistem sekolah yang memasung pendidikan, mereka malah ikut menjadi bagian Unending Consumption yang dinubuatkan Illich. Banyak akademisi yang kita kenal sekarang bukanlah akademisi yang secara kritis membedah persoalan-persoalan dalam masyarakat. Beberapa dari mereka lebih sibuk berbisnis dan mengakumulasi aset daripada berupaya membawa pendidikan ke arah yang lebih baik.

Institusi pendidikan juga memandang rendah pengetahuan yang terbentuk di luar proses kodifikasi akademik. Lihat saja pengetahuan-pengetahuan yang tidak terbentuk dari diskursus internal akademisi. Mereka dilabeli sebagai pseudo-science yang menyesatkan. Metode penyembuhan yang efektif namun tak pernah diteliti sains dianggap membahayakan. Mitos, yang sejatinya punya sistematika logis yang berbeda dari empirisme para akademik, didiskreditkan dan dikucilkan, seakan mitos adalah penyakit intelektual menular yang harus segera dijauhi. Seakan pengetahuan yang obyektif, universal, dan dapat dibuktikan tak dapat berdiri di luar institusi sekolah.

Mereka yang memperoleh ilmu lewat pendidikan di luar jalur sekolah mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan. Dalam sistem yang tidak egaliter ini, meski seseorang memiliki keterampilan yang lebih tinggi daripada seseorang yang memiliki ijazah, ia tidak akan dihargai setinggi mereka yang memiliki ijazah. Kepemilikan ijazah seakan menjadi validasi keabsahan seseorang dalam menjadi figur otoritas atas suatu bidang ilmu. Sementara itu, pakar yang belajar secara otodidak tidak dianggap. Seakan pengetahuan yang valid hanya bisa didapatkan dari sekolah dan dibuktikan dengan ijazah yang didapatkan dari sekolah.

Apabila ada pola yang bisa ditarik dari semua gejala dari sistem pendidikan sekolah dari sistem pada masa Illich menulis Deschooling Society hingga sekarang, itu adalah betapa sekolah sebagai institusi pendidikan memegang kuasa penuh atas pengetahuan yang mereka jadikan komoditas. Untuk memperkuat nilai pengetahuan yang mereka jadikan komoditas, mereka harus memonopoli pasar dengan mendiskreditkan segala pengetahuan yang ada di luarnya. Pada akhirnya, sekolah modern hanya memandang dirinya sendiri sebagai institusi bisnis, dan peserta didik diposisikan sebagai pasar yang dimanipulasi untuk percaya bahwa mereka membutuhkan sekolah.

Apa yang dibutuhkan sebagai penawar racun sekolah, tentu saja, adalah pendidikan sejati. Pendidikan yang membebaskan. Pendidikan sebagaimana apa yang disebut oleh Freire sebagai “humanizing the dehumanized”. Yang dibutuhkan oleh manusia modern bukanlah apa yang semakin mengekang mereka ke dalam jeratan sistem, tetapi pendidikan yang mampu memenuhi kebutuhannya sebagai seorang manusia. Dan ini adalah sesuatu yang mustahil diberikan oleh sekolah.

Bibliography

  • Illich, I. (1970). Deschooling Society. Harper Books.

Baca Juga:

 

 

 

 

Get in Touch

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terkait

Get in Touch

Latest Posts