Tetap Bersinar Ya Bintang, Ok?
Penulis : Afrida Yunda Nirmala
PRANGGGGGG!!!!!!!! Gelagar hantaman piring ke lantai dari ruang makan kembali terdengar di telinganya. Mereka kembali berulah. Hantaman demi hantaman mereka lakukan. Piring, gelas, meja, dan kursi tak luput menjadi sasaran amuk mereka. Nama makhluk yang menghuni kebun binatang jua tak lupa keluar dari bibir mereka. Hampir setiap hari gadis itu menyaksikan laga MMA berpindah ke rumahnya. Setiap hari pula dia menangis berpeluk heningnya malam.
Sesaat setelah kelakar menyeramkan itu terhenti, terdengar suara Innova milik papanya keluar dari pelataran rumah, disusul dengan suara driver taxi online memanggil nama wanita paruh baya yang dipanggilnya Mama. Ah mungkin mereka kembali ke kantor masing-masing, pikir gadis berambut panjang itu. Sudah bukan hal baru lagi jika orang tuanya pergi ke kantor di tengah malam seperti ini. Bahkan pernah mereka tidak pulang dan tidak saling mengabari selama 3 hari hanya karena sibuk dengan urusan kantor masing-masing. Sungguh miris.
Gadis itu hanya melihat kepergian orang tuanya dari jendela kamar. Kadang ia juga tak habis pikir mengapa kedua orang tuanya selalu seperti itu. Mengapa mereka tak bisa seperti kebanyakan orang tua – orang tua yang terlihat selalu harmonis di depan anak-anaknya. Entah apa dan siapa yang jadi penyebab mulainya pertengkaran mereka. Yang pasti semenjak naiknya jabatan Mama di kantornya beberapa tahun yang lalu, mereka sering beradu argument bahkan sampai melakukan kekerasan fisik. Miris memang.
Sepanjang malam ini gadis yang hobi bermusik itu hanya bisa terdiam meratapi nasib yang harus ia alami. Kehidupan keluarga nan harmonis sekarang hanya bisa ia dapatkan dalam mimpinya saja. Petikan gitar tua pemberian kakek, saat beliau masih hiduplah yang selalu setia menemani isaknya tiap malam. Saat sedang asyiknya berkelana dalam lamunan pedihnya, ia dikejutkan oleh ketukan pintu kamarnya.
“Nduk, kamu sudah tidur?”, suara lemah lembut dengan aksen jawa yang masih kental terdengar lirih dari luar pintu kamar. Medengar suara itu cepat-cepatlah ia menghapus air mata di pipinya.
“Belum, Nek”, ucapnya sambil membuka pintu kamar yang sebelumnya ia kunci rapat-rapat.
“Kamu nangis lagi Nduk?”, ucap sang nenek bak peramal yang bisa mengetahui banyak
“Ya begitulah Nek, aku rindu Mama sama Papa yang dulu.”, ucapnya terduduk lemas di tepi ranjang tidurnya.
“Kamu berdoa saja Nduk, semoga Mama sama Papa bisa rujuk seperti dulu, tidak usah terlalu dipikirkan, nanti sakitmu kambuh lagi, woiya obatmu sudah diminum?”, kata Nenek sambil mengelus hangat rambut cucunya itu.
“Sudah Nek. Mama sama Papa sudah tau kalau aku sakit Nek?”, tanya gadis itu cemas. “Tidak, Nenek belum memberitahu mereka sesuai keinginanmu Nduk.”, jawab Nenek melegakan. Gadis itu hanya diam memandang langit-langit kamarnya seakan sedang memikirkan sesuatu. “Yasudah Nduk, cepat tidur sudah hampir jam satu pagi, nanti kamu terlambat sekolah. Nenek juga mau tidur, sudah mengantuk. Selamat tidur sayang”, ucap nenek sambil keluar dan menutup pintu kamar. “Selamat tidur Nek”, jawab gadis itu. Sepeninggal neneknya gadis itu berusaha memejamkan mata untuk segera tidur. Berharap esok orang tuanya kembali harmonis seperti sedianya. “Ah, dasar aku halu.”, bisiknya pada diri sendiri setelah sadar bahwa khayalannya sangat susah di wujudkan. Memang sangat miris nasib gadis itu. Kasihan sekali. Tubuhnya lelah, pikirannya kacau. Di tengah rasa sakitnya ia harus menahan luka pedih yang ditorehkan orang tuanya sendiri. Nama gadis menyedihkan itu adalah Bintang. Ya, namanya memang cukup indah, namun faktanya, hidupnya tak seindah namanya. Pagi ini sama seperti biasa, di meja makan tak ada sapaan hangat dari sang mama ataupun candaan papa. Hening. Seperti itulah kondisi rumah Bintang tiap hari. Hanya ada nenek yang masih sibuk menyiapkan sarapan untuk Bintang. Nenek memang selalu memasak makanan untuk Bintang, meskipun tidak merasakan masakan mama paling tidak Bintang masih bisa menguyah masakan Nenek, begitu katanya.
Pagi ini Bintang tidak terlalu memiliki nafsu untuk menyuapkan makanan ke mulutnya.
Ia hanya meneguk segelas susu hangat yang mengalir mulus di tenggorokannya. Mungkin karena kejadian semalam yang membuatnya tidak memliki nafsu makan pagi ini. Setelah susu hangat buatan Neneknya habis, gadis bersurai panjang itu langsung bergegas pamit untuk berangkat sekolah.
Nenek yang melihat tingkah polah cucunya itu hanya tersenyum maklum. Sebenarnya nenek juga sangat kasihan pada Bintang, karena keegoisan orang tuanya ia yang menjadi korban. Apalagi saat ini Bintang sedang menderita penyakit tak bisa dianggap serius. Nenek ingin sekali memberitahukan penyakit Bintang kepada anak dan menantunya itu, tapi Bintang melarang.
Memang dasar Bintang tak suka menceritakan keluh kesahnya kepada orang lain.
KRIINGGGG KRIIINGGGG KRIINGGGG……
Lonceng kemerdekaan seluruh siswa SMA Erlangga telah bergema, tanda istirahat pertama telah datang masanya. Segera setelah bel istirahat berbunyi, Bu Ayu yang mengampu mata pelajaran matematika keluar kelas. Baru saja selanglah Bu Ayu meninggalkan pintu kelas 11 MIPA 1 mereka langsung bersorai gembira, karena mereka akan segera terbebaskan dari belenggu pelajaran matematika yang ‘menyebalkan’.
Bak sebuah tradisi turun menurun yang diwariskan oleh nenek moyang, saat jam istirahat tiba, 90% siswa pasti segera berlari secepat kilat menuju kantin untuk memberikan sesajen kepada perut mereka yang sejak tadi sudah berteriak menahan lapar. Namun hal itu tak berlaku untuk Bintang hari ini. Ia sedang tidak berselera melakukan apapun, kecuali?
“BINTANGGGGGGGG!!!!!!”, suara keras nan menggelegar dari Langit sang badboy kampung cap kapak membuyarkan lamunannya. Sontak saja hal itu membuat Bintang kesal setengah dongkol kepada manusia satu itu.
“Kalo ga teriak gabisa ya lo?”, ucap Bintang sudah sangat kesal dan telah siap siaga ingin melemparkan sebuah kotak pensil ke arah Langit, namun niat itu ia urungkan. “Santuyy, keep selowww boskuuuuu”, jawab Langit dengan gaya tengilnya. “Ada apaan sih”, tukas Bintang. “Aoo ke kantin, dedek Langit laperrr”, balasnya dengan wajah sok imutnya yang membuat Bintang ingin memuntahkan isi perutnya tepat di muka Langit. “Gamau, mager gue.”, jawab Bintang singkat, padat, jelas membuat Langit hanya bisa mengelus dada bidangnya. “Yaudah ayok ikut gue”, ucap Langit penuh penekanan sambil menggandeng tangan Bintang keluar kelas, seakan memerintah Bintang. Bintang hanya menurut tanpa perlawanan karena ia tahu kalau sahabatnya itu telah berucap dengan anda seperti itu tandanya memang ia tak mau dibantah.
Sebenarnya Langit sudah tahu apa yang membuat Bintang mager ke kantin. Semalam ia menelfon Nenek untuk menanyakan kabar Bintang karena ponselnya tidak dapat dihubungi dan nenek menceritakan semuanya kepada Langit. Sepanjang perjalanan menuju ruang musik, tangan Bintang tak lepas dari genggaman erat tangan seorang Langit. Puluhan pasang mata yang melihat momen itu berdecak iri. Bagaimana tidak, meskipun di cap sedikit badboy, Langit tetaplah idola gadis yang menyukai laki-laki jangkung lengkap dengan tubuh atletis dan alis tebal. Namun, dua insan tersebut tidak menggubris apa yang dipikirkan orang tentang mereka, toh orang-orang tersebut juga tidak mengetahui bagaimana keadaan Langit dan Bintang yang sesungguhnya.
Langit melepaskan genggaman tangannya tepat berada di depan pintu sebuah ruangan kecil berukuran 3×4 meter itu. Ruang musik. Di tempat inilah yang menjadi satu-satunya tempat Langit untuk menghibur Bintang-nya. Saat sang Bintang sedang murung dan gelisah, sang Langit dengan sigap menghibur agar Bintang kembali bersinar seperti kodrat awal penciptaannya. Langit tak ubahnya seperti buku curahan hati milik Bintang. Bagaimana tidak, Bintang selalu menceritakan segala hal yang ia alami kepada Langit-nya. Bahkan rahasia besar di hidupnya yang selalu ia tutupi dari orang tuanya sejak 2 tahun lalu pun Langit telah mengetahuinya.
“Ngapain kesini?”, tanya Bintang mendongakkan kepala agar bisa menatap Langit. “Gue tau, semalem lo nangis kan di kamar, gara-gara bonyok lo berantem lagi.”, jawab
Langit tetap menatap lurus kedepan.
Mendengar pernyataan Langit itu membuat Bintang sedikit terkejut. Namun, dengan segera ia kembali menormalkan ekspresinya dan menatap ke arah sepatu converse kesayangannya seraya menahan air hujan tidak turun dari mata indahnya. Melihat raut Bintang meredup, Langit segera membuka pintu ruangan itu dan mempersilahkan Bintang masuk. “Buruan masuk, gue ada lagu asik, mending kita nyanyi-nyanyi.”, ajak Langit. “Bentar lagi bel masuk, oon!”, ucap Bintang sarkas, bagaimana tidak 5 menit lagi bel masuk berbunyi namun Langit malah mengajak bernyanyi. “Ahhh biarinnnn, abis ini guru ada rapat kita semua freeeeeeeee”, alibi Langit sok tau. “Tau dari mana lo?”, ucap Bintang tak percaya. “Udeehh percayee aje napa sii susah elahhh, buruan yok kita nyanyiiii”, putus Langit mulai mengambil gitar dari tempatnya.
Karena memang dasarnya Bintang sangat hobi bermusik, ia langsung saja mengambil alih mikrofon dan mulai bernyanyi bersama petikan gitar Langit. Ia tak peduli jika ia harus dihukum karena ketahuan bolos di ruang music untuk yang kesekian kalinya. Ya, Bintang beberapa kali ketahuan bolos saat jam pelajaran berlangsung. Dan, semuanya itu adalah karena ulah Langit yang selalu mamaksa Bintang untuk bernyanyi bersamanya. Langit tahu Bintang tak pernah bisa menolak jika berurusan dengan yang namanya musik. Bintang pernah bilang, bahwa kakenya sangat menggilai musik. Semasa masih hidup dulu, sang kakeklah yang mengajari Bintang bermain beragam alat musik dan bernyanyi. Itulah mengapa saat ini Bintang sangat mencintai musik, karena dengan musik ia bisa mengenang dan merasakan kehadiran kakeknya.
Dunia Bintang. Bintang berdiri menatap pintu bercat putih itu dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan. Saat memasuki ruangan bernuansa pink itu ia selalu teringat dengan segala emosi yang ia rasakan. Kenangan masa kecil masih terputar jelas di kepalanya. Di ruangan ini dahulu ia sering menikmati hangatnya waktu luang bersama Mama dan Papa. Di ruangan ini pula Bintang biasa mendengarkan dongen yang selalu dibacakan Mama sebelum ia masuk ke dunia mimpinya. Namun, itu semua hanyalah kenangan-kenangan manis yang hanya bisa dikenang. Kini, kamar ini lebih sering terisi dengan ceceran air mata daripada renyahnya suara tawa Bintang kecil bersama orang tuanya.
Sejenak setelah gadis itu merebahkan tubuh rampingnya di sprei bermotif doraemon itu, ponsel yang ia geletakkan asal disebelahnya itu bordering kencang, tanda ada sebuah notifikasi telepon dari seseorang di seberang sana, “Walaaikumussalam, iya bang ada apa?”, sahut Bintang. “…”
“Iya besok aku kesana, pulang sekolah”, ucapnya lesu. “…”
“Iya bang, makasih ya”, tukas Bintang seadanya dan segera mematikan sambungan telepon tersebut. Raut wajah gadis itu semakin ditekuk. Notifikasi dari orang tersebut membuatnya kembali teringat dengan hidupnya yang begitu kelam. Ia kembali mengambil ponselnya dan mengetik sebuah pesan singkat yang ia tujukan untuk Langit.
“Besok pulang sekolah anterin gue ke tempat biasa. Gausah nolak!”, ketik Bintang di layar pipihnya.
“Siap komandan!!!!!”, balas Langit tanpa menunggu waktu lama. Setelah menerima balasan dari Langit, Bintang mencoba memejamkan matanya untuk segera tidur. Ia sudah sangat lelah untuk menjalani sisa hari ini.
Saat ini ia sedang duduk di balkon kamarnya sambil menggendong gitar akustik kesayangannya. Ia mulai memetik senar-senar gitar itu sambil menatap langit malam nan indah karena dihiasai oleh kemerlapnya sinar bintang. Seketika itu pula ia teringat akan sahabatnya. Ya, Langit sedang merindukan Bintang. Padahal baru beberapa jam yang lalu ia melihat hidung gadis itu, tapi sekarang ia sudah rindu.
Sungguh hatinya tak kuasa untuk menahan rasa kagum sekaligus ibanya pada gadis itu. Bintang terlalu indah untuk merasakan sakit. Bintang terlalu membahagiakan untuk merasakan pedihnya kesedihan. Bintang terlalu periang untuk dipaksa menjadi seorang pemurung. Ia sangat ingin melihat Bintang kembali bersinar. Ia ingin menjadi Langit yang sempurna untuk Bintang bersinar. Ya, Langit menyanyangi Bintang lebih dari sekedar sahabat. Matanya terpejam menikmati hembusan nafas sang alam.
“Bintangggg, mau lari kemana lo? Tungguin guee, woee gue capekkk!!!”, ucap Langit dengan nafas yang sedikit ngos-ngosan.
“Kejar gue kalo lo bisa, ahahaha cupu lo, cowok kok gak kuat lari, cupu lo Lang!”, ledek
Bintang dengan tertawanya yang khas. “Bodoamat gue capek, lari aja sono lo lari yang jauh gapeduli gue.”, ucap Langit terduduk lemas di bangku taman kota itu. “Ga asik ih lo, yaudah gue mau main basket aja, males main sama lo.”, balas Bintang yang sedikit jengkel dengan Langit.
“Bodoamat, main aja lo sana sama bocil-bocil ga peduli gue ga peduli.”, tukas Langit masih kesal dengan ulah Bintang. Meskipun ia berkata tidak peduli, tapi ia tetap mengawasi Bintang dari kejauhan. Matanya tak pernah sedikitpun mengalihkan pandangan memerhatikan tingkah polah gerak gadis berusia 15 tahun itu.
Bintang masih asik dengan dunianya. Ia berlarian mendribble bola basket tanpa merasa lelah. Ia berusaha mengambil alih bola basket yang masih dikuasai oleh gadis lain yang usianya tak terpaut jauh darinya. Saat ia sudah bisa merebut bola itu, ia berusaha menjebloskan bola itu ke ring. Tapi tiba-tiba pandangan matanya memudar, semua yang ada dihadapannya kabur, dan seketika itu pandangannya hitam, ia sudah tidak sadarkan diri. Langit yang melihat gadisnya tiba-tiba pingsan itu tanpa pikir panjang, secepat kilat berlari mendekati orang-orang yang sudah membentuk lingkaran mengelilingi Bintang. Ia segera meminta salah satu orang dikerumunan itu untuk memanggil ambulans.
Sesampainya di rumah sakit keringat tak henti mengucur dari pelipisnya. Ia terus menghubungi ponsel orang tua Bintang namun, hasilnya nihil. Tak ada jawaban dari mereka. Langit mulai pasrah kemudian menghubungi telepon rumah Bintang. Akhirnya, Langit menghembuskan nafas lega setelah terdengar dari seberang sana suara yang familiar di telinga Langit menyahut panggilannya.
“Halo”, sapa Nenek dari seberang telepon.
“Nek, aku Langit, Bintang sekarang ada di rumah sakit, ceritanya panjang, nenek bisa kesini, soalnyta tadi Langit menghubungi Mama sama Papa tapi ponselnya tidak aktif”, ucap Langit to the point dengan sedikti tergesa.
“Nenek kesana sekarang”, ucap Nenek tak kalah khawatir.
Belum juga Langit menjawab sambungan sudah terputus. Di kursi tunggu ruangan kaca bertuliskan “UGD” Langit tak henti merapalkan doa semoga Bintangnya baik-baik saja. Karena hari ini adalah pertama kalinya Bintang jatuh ak sadarkan diri. Selama ia mengenal Bintang, gadis itu adalah gadis yang kuat dan jarang sekali sakit. Tapi, hari ini tiba-tiba saja ia pigsan.
Aneh.
Mengingat itu tak kuasa ia menahan cairan bening di matanya untuk tidak menetes.
Memori menyedihkan itu entah kenapa bisa sangat lancang berputar-putar di otaknya. Hari itu seakan menjadi hari paling menyedihkan untuk Bintang, Langit, dan Nenek. Semenjak hari itu pula Bintang tak lagi sama. Ia berbeda. Jam dinding menunjukkan pukul 00.00 artinya sudah cukup 2 jam ia mengingat kenangan pahit itu. Ia berusaha bangkit dari lamunanya. Ia meletakkan gitar kesayangannya di sudut ruangan pribadinya itu. Laki-laki jangkung itu segera merebahkan diri di ranjang king size nya. Ia mulai memejamkan mata dan segera tertidur.
“Bintang bangun nak, sudah jam 6 kamu nanti terlambat sekolah”, suara hangat wanita paruh baya itu mengejutkan Bintang. “Mama”, ucap Bintang sangat terkejut dan segera terbangun. Ia melihat mamanya tengah duduk di samping ranjangnya.
Melihat keterkejutan anaknya, Mama hanya tersenyum manis, senyum yang selalu Bintang rindukan selama ini. Mama segera menyuruh Bintang untuk mandi dan menunggunya di meja makan. Bintang langsung menurut dan mengikuti perintah sang Mama.
Ah, mimpi apa aku semalam,pikir Bintang sedikit heran namun ia berasa ribuan kupu- kupu terbang di perutnya. Ia segera beranjak ke kamar mandi karena tak sabar untuk segera sarapan bersama Mamanya. Suara dentingan piring sendok terdengar dari sudut teratas tangga disamping meja makan.
Bintang dengan telaten menuruni satu persatu anak tangga. Hingga saat sampai di anak tangga terakhir ia melihat pemandangan yang sangat jarang bahkan hamper tak pernah ia lihat belakangan. Mama, Papa, dan Nenek sarapan bersama. Senyum indahnya sudah tak bisa ia sembunyikan lagi. Sungguh pagi yang indah.
“Pagi sayang”, sapaan lembut dari Papa, terdengar indah di telinga Bintang.
“Pagi pah”, jawab Bintang berusaha menormalkan detak jantungnya. Bagaimana tidak ia sangat jarang sekali disapa seperti itu oleh Papanya. “Ayo makannya dihabiskan Nduk, nanti keburu siang”, Nenek mulai angkat bicara. Bintang tersenyum sangat manis dan mulai melahap nasi goring dihadapannya. Setelah suapan pertama ia menjadi semakin lahap makan, karena ia tahu ini bukan masakan Nenek. Ini masakan Mama. Saking lahapnya ia hampir saja tersedak. Mama dengan cekatan langsung memberikan segelas susu pada Bintang. “Hati-hati nak makannya”, ucap Mama sambil mengelus pundak Bintang. “Hehehe, iya Ma, abisnya masakan Mama enak”, ucap Bintang sambil mengunyah makanannya.
Semua manusia di meja makan itu hanya tertawa kecil melihat ulah Bintang yang seperti anak kecil itu. Semuanya terlihat membahagiakan. Nenek terlihat sangat bahagia melihat cucu kesayangannya sangat lahap menyantap masakan dari Mama. Begitupun dengan Bintang, ia tak henti menyunggingkan senyum termanisnya.
“Ayo Nak, Papa anterin kamu ke sekolah.”, ucap Papa secara tiba-tiba sontak hal itu membuat Bintang sangat terkejut. Bahkan ia sampai tersedak untuk kedua kalinya karena ucapan Papanya itu.
“Loh, nanti Papa terlambat kerja kalau harus nganterin Bintang dulu.”, ucap Bintang. “Tidak, hari ini Papa tidak ada jadwal meeting pagi, jadi bisa nganterin Bintang dulu.”,jawab Papanya. “Sudah Nduk, berangkat sama Papa saja, lumayan kan bisa hemat ongkos buat naik ojek online”, sahut Nenek.
“Yasudah Nek”, tutur Bintang.
Setelah berpamitan dengan Mama dan Nenek, Bintang segera menyusul Papanya menuju mobil. Mereka berangkat bersama. Sungguh pemandangan yang sangat jarang terjadi. Sebenarnya meskipun ia merasa sangat bahagia pagi ini, ia masih heran. Kenapa orang tuanya tiba-tiba menjadi sangat akur seperti itu. Bahkan Papanya mmeberikannya tumpangan gratis. Padahal di hari-hari sebelumnya setiap Bintang meminta diantar ke sekolah, Papa selalu menolak dengan alasan terlambat meeting. Gadis itu mulai berpikiran yang macam-macam. Tapi ia selalu berhasil menepis pikiran buruknya. Bagaimanapun ia sangat senang melihat orang tuanya kembali.
“Halo, Bintang udah sampai di sekolah”, tanya wanita itu saat teleponnya sudah tersambung dengan lawan bicaranya.
“Udah”, jawabnya dari seberang dengan sangat singkat. “Cepatlah kembali pulang.”, ucap wanita itu.
“Iya”, tutur pria di seberang sana.
Tuttt…tutt…tuttt….
Wanita itu langsung menutup sambungan teleponnya, setelah mengetahui keberadaan anaknya.
“Sarti, apa kamu ndak bahagia melihat anakmu tersenyum hangat seperti tadi?”, tanya wanita tua itu, duduk bersandar di kursi meja makan. Wanita paruh baya yang bernama Sarti itu hanya tertunduk diam. Ia tak bergeming. Ia seperti menahan sesuatu agar tidak keluar. “Bagaimana, kamu masih ingin bercerai dari suamimu?”, tanya wanita tua itu lagi.
Lagi-lagi wanita yang diajak bicara itu hanya diam.
“Dimana Yudi? Suruh dia cepat pulang. Kita selesaikan masalah kalian”, titah Nenek. “Masih di jalan pulang Buk”, jawab Sarti.
Suara mobil Innova terdengar memasuki pekarangan rumah. Sejurus kemudian seorang pria berpakaian rapi terlihat memasuki rumah dengan sedikit tergesa.
“Duduk, Le”, titah Nenek dengan lembut.
Pria itu terduduk mengikuti perintah mertuanya. Ia melihat istrinya juga duduk menatap lantai. Jantungnya berdetak lebih cepat. Keringan dingin mengucur di pelipisnya. Ia seperti sedang bernostalgia dan mengenang bagaimana ia dulu melamar istrinya dihadapan Nenek dan almarhum kakek. Tapi, saat ini berbeda. Jika ia dulu berjuang untuk bisa membangun bahtera rumah tangga dengan wanita yang sekarang menjadi istrinya. Kini, ia harus berjuang mempertahankan rumah tangganya yang sudah diujung tanduk.
“Tolonglah, kita bisa memperbaiki semuanya, kita bisa kembali harmoni seperti dulu.”,ucap Yudi memohon kepada istrinya.
“Untuk apa dipertahankan jika kenyataannya kita sudah tak bisa lagi bersama. Kita sama- sama egois, Mas. Kita sama-sama tidak bisa membedakan masalah keluarga dan pekerjaan. Aku sudah lelah hidup seperti ini. Sudah 2 tahun kita berusaha memperbaiki masalah kita. Namun kenyataan kita tidak pernah bisa benar-benar berubah.”, tutur Sarti menahan air matanya.
“Apa kamu tidak memikirkan nasib anak kita. Kasihan dia jika harus menjadi korban perceraian kita Sar. Pikirkan sekali lagi demi masa depan anak kita. Demi Bintang”, ucap Yudi berusaha meyakinkan istrinya.
“Sarti, coba kamu pikirkan lagi keputusanmu yang ingin bercerai. Sudah 2 tahun ini kamu sering cekcok dengan suamimu, bahkan tak jarang kalian sering melempar barang-barang. Apa kamu tidak berpiki jika setiap hari Bintang selalu menangis melihat kedua orang tuanya bertengkar? Apa kalian sama sekali tidak pernah berpikir jika kalian bercerai bagaimana kehidupan Bintang selanjutnya?”, ucap Nenek.
“Tapi aku sudah memberikan uang yang cukup untuk Bintang buk, aku meelihat jika dibanding teman-temannya Bintang tidak kekurangan harta, bahkan Mas Yudi juga sudah menawarkan mobil baru untuknya agar ia tidak selalu naik ojek online, tapi salah dia sendiri saja kenapa menolak”, tukas Sarti.
“DIMANA HATI NURANIMU SARTI!!”, bentak Yudi sudah hampir kehilangan kesabaran. Untung saja ada Nenek yang menenangkan Yudi. Jika tidak, mungkin ia sudah baku hantam lagi dengan istrinya itu.
“Sarti, apa kamu pikir harta yang selama ini kamu berikan itu sudah cukup? Apa kamu tidak berpikir jika anakmu itu lebih membutuhkan kasih saying dari seorang ibu? Apa kamu tidak berpikir jika anakmu itu sering iri kepada teman-temannya yang memiliki keluarga yang harmonis?”, ucap Nenek lembut sambil menatap Sarti dalam-dalam.
Sarti yang mendengar ucapan ibunya itu hanya bisa diam. Ia seakan tertampar oleh ucapan ibunya itu. Sejenak ia tersadar dengan apa yang selama ini ia perbuat. Ia kembali tertunduk malu dengan ucapannya sendiri. Ia benar-benar merasa gagal menjadi seorang ibu yang baik untuk Bintang. Tapi ia juga sudah tidak sanggup dan tidak ingin lagi melanjutkan rumah tangga dengan suaminya itu. Dia tetap bersikeras untuk bercerai dengan suaminya. “Aku tetap ingin cerai, akan ku urus semua persuratan yang dibutuhkan. Tak perlu kalian beritahu Bintang, biar aku sendiri yang memberitahunya.”, ucap Sarti final sambil meninggalkan meja makan. Nenek dan Yudi hanya bisa pasrah mendengar keputusan Sarti itu. Sempat Nenek berpikir, ibu macam apa Sarti itu hingga tak bisa menahan egonya bahkan demi kebahagiaan darah dagingnya sekalipun.
“LANGITTTT”, teriak Bintang saat ia melihat punggung Langit dari kejauhan. Langit yang merasa ada yang memanggil namanya pun segera berhenti di tempat dan balik kanan melihat siapa yang meneriakinya itu.
“WOEE TUNGGUIN GUE DONG AELAH”, ucap Bintang sedikit ngos-ngosan karena tadi ia sempat lari mengejar Langit. Wajahnya menjadi sedikit pucat karena ia memaksa berlari.
“Lo ngapain lari-lari kayak gitu huh?!”, ucap Langit sarkas karena ia memang tidak suka
jika Bintang berlari-lari seperti itu.
“Yaudah iya maaf, abisnya lo ninggalin gue, mana lo jalannya cepet banget lagi, kan gue
jadi gada temennya”, jawab Bintang seakan tak mau disalahkan.
“Iya iya maaf tuan putri, yauda kuy kantin, mau makan apa lo?”, sahut Langit. “Makan apa aja gue laper banget ni udahan ya allah”, jawab Bintang. Sesampainya di kantin Langit segera memesan mie ayam favorit mereka. Setiap ke kantin mereka selalu duduk dan makan dengan meja dan menu yang sama. Tak heran jika ibu kantinj itu sudah sangat hafal dengan kebiasaan Langit dan Bintang. Setelah pesanan datang mereka menyantap mie ayam itu dengan sangat lahap.
“Lo kenapa seneng banget keknya”, tanya Langit memecahkan keheningan diantara keramaian yang ada.
“Gapapa gue seneng aja tadi pagi gue dibangunin Mama, sarapan makan masakan Mama,
berangkat gue dianterin Papa”, jelas Bintang dengan mata berbinar. “Wih, tumbenan banget gitu”, ucap Langit heran.
“Iya si gue juga heran, napa mereka tiba-tiba baik gitu sama gue. Tapi ya gue bodoamat yang penting keluarga gue utuh, hahaha”, sahut Bintang sambil tertawa kecil. Langit yang melihat gadisnya bahagia itu juga ikut bahagia. Sudah sangat lama Bintang tak pernah sebahagia itu. Tapi Langit masih bingung kenapa orang tua Bintang menjadi begitu baik pagi itu. Entah kenapa pula firasat Langit menjadi tidak enak.
Arlojinya sudah menunjukkan pukul 15.00 artinya 30 menit lagi bel pulang akan segera berbunyi. Tandanya 30 menit lagi ia harus menuju ke “tempat biasa” sesuai dengan janjinya semalam. Kebahagiaan yang ia rasakan tadi pagi seakan sudah tak berbekas mengingat sebentar lagi ia harus bertemu dengan “dia”.
Drtt…drrtt… drttrr….
Ponsel yang sedari tadi ia simpan di sakunya bergetar, tanda ada notifikasi pesan masuk.
Tertulis nama Langit di bar notifikasi ponselnya. Secepatnya ia membuka pesan itu.
”Star, nanti jadi kagak?”
“Iya jadi”
“Oke gue tunggu di parkiran ya”
“Ok”
“Buset dah, singkat amat, abis pulsa lo?” “Banyak komen lo, kayak komentator bola” “Weitsss, sans bosquu, kagak pelajaran lo?”
“Pelajaran Bu Ayu nih, mager gue tapi, kepikiran nanti”
“Gitu aja si lo pikirin, sanss broo, mending lo pikirin gue aje, ye ngga?”
“Najis!”
“Bintang jahat ih, dedek Langit jadi sedih nih:(“
“Najis kuadrat”
Bintang mencoba menahan senyumnya, melihat pesan teks yang dikirimkan oleh Langit. Kemudian ia menyimpan kembali ponselnya dan mulai membereskan mejanya, karena sebentar lagi sudah waktunya pulang.
Motor Langit terpakir rapi di depan gedung besar yang bertuliskan “RS MEDIKA”. Bintang menatap gedung tinggi itu dengan tatapan nanar. Langit yang melihat hal itu kemudian menepuk bahu Bintang dan memberikan senyuman terbaiknya, berharap bisa memebrikan dukungan moril yang selalu Bintang butuhkan.
“Gausah takut, gue tau lo kuat, lo pasti sembuh”, ucap Langit dengan senyuman termanisnya. Bintang hanya mengangguk dan tersenyum simpul. Dua anak manusia itu segera masuk ke dalam rumah sakit dan menuju meja resepsionis untuk bertemu dengan dokter.
“Gue takut Lang”, ucap Bintang tertunduk saat mereka duduk di kursi tunggu. “Takut kenapa? Kan ada gue”, tutur Langit berusaha menghibur Bintang. “Gue serius oon!”, ucap gadis itu sambil menjitak kepala Langit.
“Sansss bosquuuu”, balas Langit dengan mengacak rambut Bintang, saat itu ia melihat helaian rambut Bintang berjatuhan di lantai, membuat Langit sangat terkejut.
“Star, rambut lo?”, tanya Langit sangat terkejut.
“Gapapa, udah biasa kok”, tutur Bintang dengan senyuman menghiasi bibirnya.
Setelah insiden itu tak ada lagi obrolan ringan diantara mereka. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Langit benar-benar khawatir dengan kondisi gadisnya itu. Ia takut penyakit gadis itu semakin parah. Ia benar-benar takut untuk kehilangan Bintang.
“Nona Bintang Andhira, silahkan menuju ruangan Dokter Riyan”, ucap seorang suster, “Baik sus”, ucap Bintang.
Gadis itu mulai melangkah menuju ruangan dokter yang disebutkan oleh suster tadi. Di belakangnya ada Langit yang menemaninya. Ia melangkah dengan lemas. Sampai di depan ruangan bertulisan “Dr. Riyan Settiardi, Sp.B(K)Onk.” langkahnya terhenti. Ia seakan ragu untuk masuk ke ruangan itu lagi. Namun Langit berhasil meyakinkannya.
“Halo, adeknya abang yang paling cantik, gimana kabarnya dek?”, sapa Dr. Riyan. “Hai bang, alhamdulillah bang baik-baik aja”, sahut Bintang memaksa senyumnya.
Dr. Riyan adalah seorang dokter muda yang khusus menangani penyakit kanker. Beliau masih berusia 28 tahun, tak heran jika Bintang bisa sangat akrab dengannya. Dr. Riyan juga sudah menganggap Bintang sebagai adik kandungnya sendiri. Dari awal divonis kanker Dr.
Riyan lah yang menangani. Beliau juga tahu jika orang tua Bintang tidak mengetahui penyakit gadis itu. Lelaki itu juga mengerti alasan dibalik keputusan Bintang untuk tidak memberitahu orang tuanya. Syukurnya Dr. Riyan menghargai keputusan Bintang itu, sehingga urusan administrasi dan lain-lain yang membutuhkan tanda tangan orang tua, cukup Nenek saja yang menandatangani dan itu sudah cukup.
Dr. Riyan mulai memeriksa kondisi Bintang. Terlihat jelas di raut wajah Langit bahwa ia merasa sangat khawatir dan was-was. Entah kenapa saat menjalani pemeriksaan, bibir Bintang terlihat sangat pucat. Hal itu tentu saja membuat Langit sedikit takut. Dalam hatinya Langit tak henti merapalkan doa agar ‘gadisnya’ itu baik-baik saja. Ia tak kuasa jika harus melihat Bintang menjalani kemoterapi yang menyakitkan itu.
“Duduk sini dek”, pinta Dr. Riyan setelah selesai memeriksa kondisi Bintang. “Tunggu hasil scannya dulu ya”, ucap dokter muda itu.
Bintang hanya duduk dan menurut. Dr. Riyan mulai memijit pelipisnya seolah sedang memikirkan hal yang sangat berat. Ketiga manusia itu hanya diam, tak ada sepatah kata pun yang terucap. Dr. Riyan juga diam, seakan ia tak kuasa untuk memberitahu dua anak manusia di depannya tentang kondisi Bintang. Wajah dokter itu tak lagi semanis tadi, saat ini wajahnya juga diselimuti perasaan was-was.
“Permisi dok, ini hasil scannya sudah keluar”, ucap salah seorang suster menyodorkan semua stofmap kepada sang dokter.
“Terimakasih sus, silahkan keluar sus”, ucap dokter itu dengan ramah. “Baik, Dok”, tutur suster itu. Dr. Riyan membuka stofmap dengan sangat perlahan. Tatapannya sulit dijelaskan, membuat Langit dan Bintang dibuat sangat takut. Bintang takut jika penyakitnya itu semakin parah. Dr. Riyan mengamati kertas itu dengan sangat jeli. Kerutan kecil muncul di dahinya. Dan saat lelaki itu membuka suara, tangis Bintang pecah seketika. Langit dengan sigap memeluk ‘gadisnya’ mencoba menenangkan. Langit sebenarnya ingin menangis, tapi ia tahan sekuat tenaga karena ia tak mau terlihat lemah dihadapan gadis yang ia sayangi.
“Sabar dek, abang pasti bantuin kamu sampai kamu sembuh, tapi kamu harus nurut sama abang, harus ngikutin apa yang abang bilang ya, Langit tolong jaga Bintang ya, abang tidak bisa jika harus mengawasi Bintang 24 jam, tolong kamu awasi Bintang ya, jangan segan tegur dia kalau dia bandel. Nanti biar abang yang bilang sama Nenekmu dek, kamu ga perlu takut. Ingat ya jangan ikut pelajaran olahraga, jangan kecapekan dek. Kalau kamu mimisan lagi segera minum obat yang abang kasih. Dan, setiap hari Kamis datang kemari ya, kita cek kondisi kamu”, pesan dari Dr. Riyan.
“Iya bang, makasih ya bang udah ngerti kondisi Bintang”, jelas Langit. Hal itu hanya
dibalas anggukan oleh sang dokter.
‘Rumpang-Nadin Amizah, sedang diputar’
Alunan melodi itu yang saat ini menemani malam Bintang. Ia menatap langit, ia tak melihat ada satupun bintang bersinar disana. Entah karena tertutup polusi udara yang kian hari kian parah, atau karena bintang di langit sedang enggan bersinar karena merasa iba pada kondisinya saat ini. Dalam lamunan ia menangis di keheningan malam. Ia mulai menuliskan sesuatu di buku diary nya. Entah apa yang ia tulis, namun yang pasti setelah ia menulis, ia merasa lebih baik. Pernyataan Dokter Riyan sepekan lalu masih terputar jernih di memorinya. Ia tak habis pikir bahwa hidupnya akan serumit ini. Ia memejamkan matanya sejenak. Berusaha menikmati segala pelik dan derita yang dititipkan Tuhan padanya.
“Dek, abang ngga tau harus mulai ngomong ini dari mana”,ucap Dokter Riyan masih memandangi kertas putih bertuliskan ‘Hasil CT Scan Nn. Bintang Andhira’. Bintang dan Langit menatap Dokter Muda itu dengan tatapan penuh harap.
Dokter tampan itu menghela napas panjang, mengisyaratkan bahwa ia sedang resah.
“Jadi gini dek, sel kankermu ini sudah parah, mereka sudah menyebar ke beberapa organ tubuhmu. Abang juga tidak mengerti, padhal 2 bulan lalu, sel kankermu sudah mulai melemah. Tapi aneh sekali, hari ini mereka mulai menyebar dek. Kanker mu sudah stadium IV dek, abang nggatau sampe kapan kamu bisa bertahan. Tapi satu hal yang abang tahu, kamu gadis kuat, kamu hebat, abang yakin kamu bisa melewati semua ini. Abang yakin dek kamu bisa. Jangan lelah buat berusaha ya dek. Tetep berdoa sama Tuhan. Manusia hanya bisa mendiagnosa, tapi Tuhan yang memutuskan segalanya.”, ucap Dokter Riyan menahan tangisnya.
Sudah cukup ia mengingat kelamnya hari itu. Tak sadar air matanya menetes, segera ia mengusap itu. Bintang tak mau jadi gadis lemah. Ia tau ia kuat. Ia mencoba keluar kamar untuk mengambil air minum di dapur. Saat ia melewati kamar orang tuanya, ia melihat pintu terbuka. Gadis itu beranjak masuk ke dalam kamar itu, berharap bisa bertemu dengan Mama atau Papanya. Namun, ia tak melihat kedua orang tuanya itu di setiap sudut kamar. Kemana mereka, malam sudah sangat larut, tapi mereka belum pulang, apa mereka meeting lagi, batinnya.
Setelah itu ia keluar kembali ke tujuan awal ia meninggalkan kamar.
Saat ia mulai menapaki anak tangga, ia mendengar Innova milik papanya memasuki halaman rumah. Seketika itu ia berhenti dan menunggu papanya masuk rumah. Ia berharap ia melihat mama dan papanya pulang bersama. Namun, betapa terkejutnya ia saat melihat papanya pulang sendiri dan dalam keadaan, mabuk. Papanya mabuk. Benar-benar mabuk. Ia tak pernah melihat papanya seperti ini sudah berapa lama papanya mabuk. Tak sanggup ia memikirkan hal itu.
Dari kejauhan ia melihat Papa berjalan sempoyongan dan hampir terjatuh. Ia melihat bibir Papanya komat-kamit merapalkan sumpah serapah yang ditujukan untuk sang mama. Gadis itu tetap berdiri mematung dengan air mata jatuh membasahi pipi pucatnya. Bintang memperhatikan Papanya mulai membanting benda-benda di sekitarnya. Bahkan vas bunga kesayangan Mama tak luput dari amukannya.
“DASAR KAU WANITA JAL*NG, MATILAH KAU WANITA KEPAR*T, PERGI SAJA KAU DARI HIDUPKU PERGI JAUHLAH KAU WANITA TIDAK TAU DIRI!!!”, racau Papanya dalam pengaruh alkohol.
Bintang tetap terdiam di tempatnya berdiri. Ia tak henti menatap Papanya nanar. Saat pandangan mereka bertemu entah kenapa badan gadis itu menggetar. Ia takut. Papa menghampirinya dengan pandangan yang tak bisa dijelaskan. Saat jarak mereka hanya terpaut 2 anak tangga, Papanya berhenti. Laki-laki itu tertunduk dan menangis sejadi-jadinya. Bintang tak kuasa melihat pahlawan kehidupannya itu menangis. Gadis cantik itu mulai meraih badan kekar lelaki 40 tahun itu. Namun, bak orang kesetanan tiba-tiba laki-laki itu menghempaskan tubuh Bintang hingga ia tersungkur di lantai. Tak sampai disitu, sang Papa juga tak segan menghardik Bintang. Karena tubuhnya yang mungil, gadis kurus itu tak kuasa menghindar. Papanya terus memukulinya hingga setetes darah segar mengalir mulus dari hidungnya. Menyadari hal itu sekuat tenaga Bintang bangkit dan segera berlari ke kamarnya tanpa memperdulikan Papanya yang masih saja memanggil-manggil namanya.
Allahu Akbar Allahu Akbar….
Suara adzan shubuh yang berkumandang dari masjid di pojok komplek tersebut berhasil membangunkan gadis itu dari mimpi indahnya. Rasanya ia tak kuasa untuk bangkit dan menjalankan aktivitasnya. Kepalanya berdenyut, sakit sekali. Ia berusaha dan berdiri dengan sisa tenaga yang ia punya. Terduduklah gadis itu di depan kaca riasnya. Terlihat pantulan dirinya di cermin itu. Pucat, kusut, kurus, lemas, acak-acakan. Kemudian ia mengambil sisir hitam dan mulai merapikan rambut panjangnya yang tipi situ. Rontok. Hal yang sudah sangat biasa ia jumpai.
Tokk..tokk..tokkk….
“Nduk, kamu sudah bangun?”, tanya Nenek dari luar pintu.
“Sudah, Nek”, sahut Bintang lemas, tanpa membuka pintu kamar yang sedari tadi terkunci rapat..
“Kamu sakit Nduk? Kok suaramu lemas begitu?”, tanya Nenek dengan nada khawatir.
“Tidak Nek, Bintang nggapapa, Cuma baru bangun aja makanya serak gini Nek”, alibi Bintang menutupi keadaannya.
“Kalau kamu sakit lebih baik di rumah saja Nduk, tidak udah masuk sekolah”, tawar Nenek.
“Tidak Nek, aku baik-baik saja, aku hari ini masuk sekolah saja Nek, aku mau mandi, terus sholat dulu Nek”, tegas Bintang pada Neneknya. “Baiklah Nduk”, ucap Nenek sambil lalu.
PRRRIIITTTTTTT…..
Suara lenkingan peluit yang ditiup Pak Dodi membuat seluruh siswa kelas 11 MIPA 1 segera membariskan diri dengan rapi di tengah lapangan basket. Tak terkecuali Bintang. Ya, hari ini gadis itu benar-benar mengikuti kelas olahraga, meskipun ia sudah dilarang oleh Langit dan Dokter Riyan ia tetap nekat. Bukan karena ia ingin membahayakan diri sendiri, tapi ia takut disemprot oleh Pak Dodi. Pasalnya, guru olahraga yang satu dikenal sangat killer dan tegas jika menghadapi murid yang malas ikut kelas olahraga. Sudah beberapa kali memang Bintang ditegur oleh Pak Dodi karena ia bolos kelas olahraga. Bukan karena ia mendiamkan diri di ruang music bersama Langit, tidak. Ia bolos karena masalah kesehatannya, tapi tentu saja bukan itu alasan yang diberikannya pada Pak Dodi. Gadis itu selalu beralasan bahwa kaos olahraganya ketinggalan. Alhasil ia tak bisa ikut kelas olahraga. Pintar bukan?
“Hari ini kita akan tes atletik, penilainnya adalah dengan metode lari estafet. Setiap kelompok ada 4 orang siswa. Kelompok dimana mereka paling cepat selesai akan mendapat nilai yang paling tinggi. Paham semuanya?”, terang Pak Dodi.
“PAHAM PAK”, jawab seluruh siswa dengan serempak.
“Bagus. Sebelum tes dimulai, ada yang sakit?”, tanya Pak Dodi memastikan. “SIAP, TIDAK PAK”, jawab seluruh siswa yakin.
Tapi tidak dengan Bintang, kepalanya berdenyut sangat sakit sedari tadi. Bibir yang tadinya berwarna pink karena olesan lip balm kini kembali memucat. Untungnya Pak Dodi tidak menyadari hal itu, karena tubuh mungilnya tertutupi oleh badan jangkung teman-temannya.
“Andin, Bintang, Celia, Cika, sekarang waktunya kelompok kalian akan melawan Denias, Dirta, Eka, Gista”, ucap Pak Dodi.
“Siap Pak”, ucap para gadis yang disebutkan namanya tadi.
“Lo gapapa kan Star?”, tanya Andin teman sebangku Bintang.
“Gue gapapa kok”, jawab Bintang memaksakan senyum di bibir pucatnya. Andin hanya mengangguk mempercayai perkataan Bintang, walaupun dalam hatinya ia merasa aneh, karena Bintang terlihat sangat pucat.
“SEDIA SEMUANYA, SIAPP, YAKKK!!!!”, teriakan aba-aba dari Pak Doni membuat gadis-gadis yang berada di baris pertama segera berlari sekencang mungkin. Tak terkecuali Bintang. Gadis itu berlari melawan rasa sakitnya. Namun, ia terlalu lemah untuk melawan sel kanker yang ganas itu. Baru saja setengah jalan ia terhenti. Kepalanya kembali berdenyut, darah segar mengalir dari lubang hidungnya, pandangannya perlahan mengabur, kemudian hitam. Bintang pingsan di tengah lapangan.
Putih. Itulah hal pertama yang ia lihat saat ia membuka matanya. Dengan sangat kesusahan ia berusaha sekuat tenaga untuk menggerakan jari-jari lentiknya berusaha menggapai apa saja yang bisa diraih. Gadis itu mencium bau-bau obat di seluruh ruangan. Tapi dimana dia sekarang? Bukankah tadi dia sedang mengikuti kelas olahraga bersama Andin?
Ceklekkkk…
Suara pintu terbuka, tanda ada seseorang masuk ke ruangan itu. Bintang masih menahan agar matanya tetap terbuka. Ia ingin tahu apa yang terjadi padanya. Dan melihat siapakah gerangan orang yang datang itu.
“Star, lo udah sadar?”, ucap seorang laki-laki bertubuh jangkung dengan nada sangat khawatir.
“Langit, gue dimana Lang?”, tanya Bintang, setelah dia tahu bahwa laki-laki itu adalah sahabatnya.
“Lo di rumah sakit, tadi gue lihat lo pingsan di lapangan, terus gue sama Bu Ayu bawa lo kesini, kata Andin lo nekat ikut kelas olahraga, kok lo bandel sih Star, kalo lo kenapa-napa gimana, lo ga kasian sama gue? Gue takut lo kenapa-napa Star”, ucap Langit menggebu karena perasaan khawatirnya.
Bintang tersenyum sangat tulus, “Gue gapapa kok Sky, makasih lo udh bawa gue kesini, Bu Ayu mana?”, tanya gadis itu.
“Masih di luar, ngobrol sama bang Riyan. Tolong lo jangan kayak gini, lo harus sayang sma kesehatan lo sendiri. Jangan bikin gue sama nenek khawatir terus, gue takut Star gue takut. Gue sayang sama lo. Gue gamau lo kenapa-napa”, jujur Langit sambil menggenggam tangan Bintang yang bebas dari selang infuse.
Betapa terkejutnya Bintang mengetahui bahwa selama ini Langit menyimpan perasaan itu untuknya. Tak sadar ia meneteskan air matanya. Ternyata selama ini ada orang yang tulus menyayanginya, selain Nenek. “Gue juga sayang sama lo, Sky”, akunya pada Langit. Dua remaja itu saling tatap. Entah apa yang ada dipikiran mereka, yang pasti mereka sedang bahagia, bahwa perasaan yang selama ini mereka pendam akhirnya terungkap dan terbalas. Kontak mata itu terputus seiring dengan terbukanya pintu dan menampakkan wajah-wajah yang tak asing untuk mereka. Bu Ayu, Dokter Riyan, dan Nenek tentunya.
“Halo Bintang cantik, sudah mendingan Nak?”, tanya Bu Ayu.
“Alhamdulillah sudah bu, maaf saya tadi merepotkan”, jawab Bintang dengan sopan. “Tidak apa-apa Nak”, ucap Bu Ayu sambil tersenyum sangat tulus. Bibirnya tersenyum,
tapi mata bengkaknya mengisyaratkan hal lain. Nenek pun sama sedari tadi hanya diam dan menatap cucunya lama.
“Dek, kamu sementara harus dirawat disini dulu ya, sampai kamu pulih”, tegas Dokter Riyan. Kemudian pergi begitu saja sambil mengusap cairan bening yang menetes di pipinya.
“Bang, mau kemana Bang, Bintang gamau opname”, teriaknya namun tak digubris oleh sang dokter.
“Kali ini nurut ya sama dokter”, tutur Nenek yang hanya dijawab anggukan oleh Bintang.
“Yasudah Nak, ibu sama nenekmu ke ruangan Dr. Riyan dulu ya, kamu istirahat saja.
Sky, kamu jaga Star ya, awas jangan sampai lecet.”, pesan Bu Ayu.
“Siap Ibu Guru yang cantik”, jawab Langit dengan gaya tengilnya.
Bu Ayu adalah satu-satunya guru yang mengetahui kondisi Bintang. Beliau memang wali kelas Bintang dan kebetulan adalah guru musik Bintang dan Langit di sekolah. Maka tak heran jika beliau sangat akrab dengan mereka berdua. Hingga beliau tahu nama panggilan khusus untuk Bintang dan Langit, yaitu Star dan Sky.
Mama sedang memanggil….
Notifikasi dari ponselnya itu membangun gadis cantik yang sedang terbaring lemah di ranjang rumah sakit itu.
“Halo, ada apa Mah?”, sapa Bintang dengan suara seraknya.
“Kamu kemana, semalam ga pulang, huh?!”, suara mama terdengar jengkel.
“Ehmm, itu mah, Bintang menginap di rumahnya Andin, kemarin ngerjain tugas kelompok sampai malam, ga sempat bilang ke Mamah”, alibi Bintang.
“Yasudah terserah kamu, hari ini Mama mau ngajuin surat permohonan cerai ke pengadilan, Mama sudah muak sama Papamu”, ucap Mama tegas.
“Apa Mah? Cerai? Tapi kenapa Mah?”, tanya Bintang terkejut dan menahan tangisnya.
“Jangan banyak tanya kamu. Ini sudah keputusan Mama. Kalau kamu mau tahu alasannya tanya saja sama Papamu”, tegas wanita itu sambil mematikan sambungan telepon.
Hal itu lantas membuat Bintang tanpa sadar menjatuhkan ponselnya ke lantai. Dia tak sanggup lagi. Dia menangis sejadi-jadinya. Tanpa sadar selang infuse yang terpasang di telapak tangannya terlepas. Ia berteriak hiteris, hingga membuat Nenek dan Dr. Riyan berlari memasuki kamar Bintang dengan tergopoh. Mereka berdua terlihat sangat panic setelah melihat menangis dan berteriak serta kondisi ranjang yang acak-acakan.
“Dek, kamu kenapa nangis dek?”, tanya Bang Riyan sangat cemas.
“KENAPA MAMA JAHAT SAMA AKU, SALAH AKU APA SIH? MAMA JAHAT
BANG MAMA JAHATTTT”, ucap Bintang sambil menangis.
“Kamu sudah tahu Nduk?”, tanya Nenek perlahan sambil mengelus kepala cucunya itu. “Nek, Mama jahat Nek, kenapa Mama mau cerai sama Papa”, tutur gadis mungil itu.
“Sabar Nduk, yang penting kamu sehat dulu, jangan berpikir yang macam-macam.”, ucap Nenek.
Wanita yang usianya sudah setengah abad itu berusaha menenangkan cucu semata
wayangnya. Sungguh malang nasib gadis itu. Orang tuanya sudah tidak peduli padanya. Bahkan setelah ia tidak pulang ke rumah pun, tidak ada diantara mereka yang bertanya untuk sekedar memastikan bahwa anaknya itu baik-baik saja. Miris.
“Bang, hari ini aku mau pulang, aku mau tanya ke Papa”, tegas gadis muda itu.
“Gabisa, kamu belum boleh pulang, kamu belum pulih”, jawab sang dokter. “Aku ga peduli, pokonya aku mau pulang sekarang!”, keukeuh Bintang. Nenek
memberikan kode pada Dokter Riyan agar Bintang di perbolehkan pulang. Dokter muda itupun hanya bisa mengangguk pasrah, karena ia tahu kesehatan Bintang benar-benar sedang tidak baik.
Langit berniat menjenguk gadisnya di rumah sakit, sebelumnya ia berhenti di sebuah toko bunga. Lelaki itu membelikan sebuah buket yang berisi bunga lily dan mawar yang sangat cantik. Tak lupa ia juga membeli banyak coklat kesukaan Bintang. Sebenarnya hari ini bukanlah hari libur, namun karena Bintangnya sedang sakit jadi perjaka jangkung itu rela bolos sekolah untuk menemani gadis cantiknya di rumah sakit.
Tak ada yang special pagi ini, tapi ada satu hal yang membuat ribuan kupu-kupu terbang di perutnya. Percakapan singkatnya dnegan Bintang kemarin siang yang membuatnya berbunga- bunga. Perasaannya pada Bintang ternyata terbalas. Sahabat kecilnya itu juga menyayanginya selayaknya seorang kekasih. Betapa bahagianya ia.
Sesampainya di rumah sakit, di depan pintu bertuliskan “Ruang ICU” dia berhenti sejenak. Menghela napasnya pelan. Sebenarnya ia tak kuasa melihat gadis yang ia cintai terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Tapi inilah takdirnya, ia harus berusaha dan tetap melewatinya dengan tabah.
Sesaat setelah pintu terbuka, herannya dia tak menemukan Bintang di dalam sana. Ia mencoba tenang, dan menelpon Dr. Riyan untuk memastikan keadaan Bintang.
“Halo, bang dimana? Bintang kok gaada di kamarnya”, tanya Langit sesaat setelah telponnya tersambung.
“…”, sahut bang Riyan.
“Hah, ada apa?”, tanyanya panic.
“…”, tuturnya.
Mendengar kalimat terakhir yang diucap Bang Riyan tadi, Langit langsung menutup ponselnya dan bergegas memacu Ninja merahnya menuju rumah Bintang.
Dari depan pintu ia melihat semua orang berkumpul, bahkan ada orang tua Bintang disana. Bintang terlihat duduk lemas dengan wajah pucat disamping Nenek. Mama dan Papa duduk terpisah di hadapan Bintang. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, yang pasti wajah mereka terlihat sangat serius. Sedangkan dokter muda itu tengah mondar-mandir terlihat sangat mencemaskan Bintang.
“Sky, akhirnya lo dateng juga,”, ucap dokter itu.
“Ada apaan bang, kok rame banget gini, terus itu kenapa Bintang dibolehin pulang? Ka o dia udah gabisa hidup tanpa alat, kok lo bolehin dia pulang sih, ntar kalo dia kenapa-napa gimana huh?”, cerocos Langit minta penjelasan.
“Ceritanya panjang, Sky”, Bang Riyan memulai ceritanya, ia menjelaskan apa yang terjadi pada Bintang pagi tadi, hingga ia harus pulang paksa. Saat dokter itu sedang menjelaskan
tiba-tiba terdengar suara teriakan dari dalam rumah. Seketika itu dua orang laki-laki tadi langsung nyelonong masuk tanpa mengucap salam atau permisi. Dan mereka lihat sebuah vas bunga jatuh di lantai dan Mama yang tersungkur di dekat vas itu. Bintang dengan bibir pucat dan mata sayunya berusaha bangkit dari tempat duduknya dan segera menghampiri mamanya.
Namun, baru saja ia melangkah gadis itu merasa bahwa semua yang ada di rumah itu berputar. Ia mencoba berteriak sekuat tenaganya, namun nihil ia tak bisa mengeluarkan suara lantangnya.
Pandangannya mulai kabur dan dia jatuh tak sadarkan diri lagi.
“Sebenernya Bintang itu kenapa? Ada apa sama anakku”, ucap Mama heran. “Bu, jawab bu, Bintang kenapa Bu?”, tanya Papa.
Nenek yang ditanya seperti itu lantas saling pandang dengan Langit. Nenek menatap pintu kaca bertulisan “Ruang “ICCU” itu dengan nanar. Beliau menghelas napas berat. Dengan berat hati beliau menceritakan semua keluh kesah Bintang, hingga penyakit kanker otak yang dideritanya kini juga telah diceritakan. Tanpa sadar Nenek menitikka air mata melewati kacamata tuanya. Langit dengan sopan memeluk dan menenangkan nenek. Sedangkan orang tua Bintang yang baru mengetahui keadaan anaknya itu menangis sejadi-jadinya. Apalagi Mama, wanita itu terus memanggil-manggil nama Bintang dan terus mengucap maaf. Yudi yang melihat istrinya histeris seperti itu segera mendekapnya dan membuatnya sedikit tenang. Semua orang disana tak henti-hentinya memanjatkan doa agar Bintang bisa selamat dan baik-baik saja.
Mereka mengharap munculnya seseorang dari balik pintu itu dengan perasaan was-was.
Setelah beberapa belas menit, akhirnya Dokter Riyan keluar dari ruangan itu dengan keringat mengucur di pelipisnya. Ia seperti orang yang ketakutan. Melihat keluarga Bintang sangat khawatir, tanpa waktu lama dokter itu menjelaskan bahwa saat ini Bintang sedang koma dan ia sendiri tak tahu kapan Bintang akan tersadar. Sel kanker itu sudah merusak banyak organ tubuh Bintang. Kondisinya sudah sangat lemah. Dan kemungkinan untuk ia bisa tetap hidup sangat kecil. Dokter Riyan hanya meminta keluarga Bintang terus berdoa. Karena saat ini hanya mukjizat Tuhanlah yang bisa menyelamatkan nyawa Bintang. Mendengar hal itu, Mama tak kuasa lagi menopang beban tubuhnya sendiri, ia terduduk lemas di lantai rumah sakit. Sarti seolah sangat menyesal, kenapa ia dahulu sering menyia-nyiakan dan membuat hati Bintang bersedih. Bahkan dia sangat egois, ia hanya mementikan egonya saja untuk bercerai dengan suaminya tanpa memikirkan kesehatan Bintang. Selama 2 tahun ini ia hanya mementingkan karirnya saja, tanpa ia sadari Bintang membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekedar uang.
Bintang membutuhkan kasih sayang. Ibu macam apa dia ini yang tak bisa menghadiahkan kasih sayang untuk anak semata wayangnya.
Langit yang sedari tadi diam pun tak kuasa menahan tangis. Hanya nenek yang terlihat sangat tegar. Langit terlihat begitu frustasi, rambut yang awalnya rapi kini tak tahu lagi bagaimana bentuknya. Matanya merah menahan air mata yang sedari tadi merangsek ingin melihat kejamnya dunia. Langit memutuskan untuk pamit pulang agar ia bisa menenangkan diri. Sebelum pamit, tak lupa ia mencium tangan nenek, mama, dan papa dengan takzim layaknya seorang anak kandung. Di jalan ia terus menangis di balik helm fullfacenya. Ia berharap bahwa semua ini hanya mimpi. Namun, nyatanya ini semua nyata.
Sudah lebih dari seminggu Bintang tak sadarkan diri. Ia tertidur sangat pulas sampai- sampai ia lupa bagaimana caranya bangun dan menyapa orang0orang disekitarnya. Hingga hari ini, saat semua orang berkumpul di kamarnya. Secara mengejutkan ia menggerakan jari jemari lentiknya. Ia tersadar dari tidur panjangnya. Susah payah gadis itu membuka matanya.
“Maa”, ucap Bintang dengan sangat terbata dan suara seraknya.
“Iya Nak, mama disini, ada apa Nak?”, kata mama sambil menahan tangis.
“Bintang sayang Mama”, kalimat iu diucapkan Bintang dengan sangat terbata sebelum ia memejamkan matanya. Mendengar anaknya mengucapkan hal itu Sarti hanya bisa menangis sambil menggenggam erat tangan Bintang. Wanita paruh baya itu tak hentinya mencium dan memeluk tubuh kaku putrinya.
Senyuman yang tadinya merekah indah menghiasi wajah orang-orang di kamar itu berubah saat mengetahui bahwa itu adalah kalimat terakhir yang diucapkan Bintang. Pasalnya setelah mengucapkan kalimat itu ia kembali tertidur. Ia tidur dan tidak akan bangun lagi. Bintang tidur membawa rasa sakit dan rasa bahagia. Bintang pergi tepat di hari kelahirannya. Ia pun pergi dengan senyuman manis menghiasi bibirnya. Dia telah kembali ke langit, tempat dimana ia berasal. Dan disanalah juga ia akan bertahta dan akan senantiasa bersinar untuk memberikan terang pada gelapnya langit malam.
Kehilangan sosok cinta pertama sekaligus sahabat terbaik memang tidak mudah.
Setidaknya itu adalah sepenggal kalimat yang menggambarkan keadaan Langit saat ini. Ia keluar ruangan dengan langkah gontai. Dokter Riyan yang melihat hal itu segera menghampiri Langit yang terduduk di depan ruangan itu dengan tatapan kosongnya. Dokter muda itu kemudian menggapai pundak Langit dan mengucapkan terimakasih karena ia telah menjaga Bintang dengan sebaik mungkin. Tanpa Langit mungkin Bintang tak akan bisa bersinar selama ini.
Dokter itu juga mengatakan bahwa saat ini Bintang sudah menemukan tempatnya untuk bersinar. Langit tak perlu cemas, karena cepat atau lambat Langit akan mendapat sosok wanita pengganti Bintang yang akan menemani hari-harinya yang sepi.
“Tetaplah bersinar diatas sana ya, Star. Tunggu saat tiba waktunya nanti aku akan datang padamu dan kau akan bersinar lebih terang dari biasanya, karena ada aku disisimu.”, gumam Langit dalam hati berharap Bintang mendengarnya.