replica watches De-edukasi Mitos Feminin: ‘Wanita karir’ Belum Tentu Keberhasilan Feminisme - Bestari

De-edukasi Mitos Feminin: ‘Wanita karir’ Belum Tentu Keberhasilan Feminisme

Lewat sebuah novella berjudul La fille aux yeux d’or, novelis Honore de Balzac mengungkapkan sebuah pandangan kontroversial yang mulanya dimaksudkan sebagai kritik masyarakat Prancis abad ke-18. Tulisnya, pria memperbudak perempuan dengan meyakinkan bahwa mereka adalah ratu yang bertugas melayani pria sebagai raja lewat pekerjaan domestik dalam hubungan rumah tangga Kebohongan ini, berkembang menjadi kebenaran kolektif, mengerucutkan arah hidup banyak perempuan di Prancis.

Arah yang akhirnya dituju para perempuan Prancis di masa itu begitu terbatas. Saat itu, perempuan terikat pada obligasi keluarga dan pekerjaan domestik. Mentok-mentok, pengaruh mereka terbatas pada keluh kesah para salonnieres yang mengkritik monarki di ruang-ruang tertutup. Ingin menjadi saintis? Cemooh masyarakat menanti. Kehendak bebas seorang perempuan tidak terlalu berarti pada masa itu. Jika Marie Curie terlahir pada masa ini, mungkin perjalanan hidupnya tidak akan seperti yang kita tahu.

Dalam bukunya The Second Sex (1949), Simone de Beauvoir menyambung pandangan de Balzac dengan beropini bahwa pria-pria ini dengan mudah merengkuh kendali atas para wanita karena telah terbentuknya apa yang disebut Simone de Beauvoir sebagai mitos feminin, sebuah narasi virtus bahwa kebajikan tertinggi yang bisa dicapai oleh perempuan adalah dengan mencapai kondisi di mana mereka menjadi penyokong ideal kehidupan pria.

Hampir seabad telah berlalu semenjak perilisan karya seminal Beauvoir tersebut. Pengaruh karya ini telah menyusup ke hampir semua pergerakan feminisme di dunia. Perlawanan terhadap mitos feminin ini berujung pada munculnya ideal-ideal baru mengenai posisi perempuan dalam masyarakat. Perempuan yang sebelumnya seringkali terperangkap dalam narasi ini akhirnya dibebaskan. Dalam struktur naratif feminin, perempuan tak lagi menjadi obyek bagi kepentingan laki-laki, namun ia ada bagi dirinya sendiri.

Akhirnya, perkembangan ini sedikit mampu membawa perempuan berjalan keluar dari tembok-tembok semu yang sebelumnya dibangun oleh masyarakat. Apabila dahulu hanya terkurung dalam batasan pekerjaan rumah tangga atau domestik, kini perempuan mendapatkan ruang lebih untuk menentukan nasib dirinya. Ini memunculkan sebuah narasi virtus baru, di mana sosok perempuan ideal yang tergambar dalam diri ibu rumah tangga beralih ke arah pos yang selama ini seringkali hanya diisi oleh laki-laki.

Pendidikan modern berbasis industri yang menitikberatkan tujuan pada pembentukan manusia-manusia produktif semakin membukakan jalan ke arah ini. Menggunakan iming-iming pemberdayaan demi tujuan mulia baru ini, perempuan diarahkan menuju sektor-sektor produktif dan strategis. Istilah-istilah yang mewakili konsep ‘wanita modern’ seperti ‘wanita tangguh’ dan ‘wanita karir’ digunakan untuk membangun norma baru menggantikan konsep wanita penurut yang ada dalam narasi feminin lama.

Pertanyaannya, apakah pergeseran posisi perempuan dalam masyarakat dari kurungan kerja domestik menjadi pekerja karir sebuah bentuk pemberdayaan? Di sini, garis pemisah antara perempuan sebagai ‘obyek pasif’ dan ‘subyek yang terberdayakan’ agak kabur. Memetakan posisi perempuan di antara kedua ujung biner ini bisa jadi sedikit sulit. Pergeseran jalur ini bisa jadi merupakan sebuah pelepasan sekat-sekat yang mengurung arah hidup perempuan, namun bisa jadi menjadi sebuah bentuk penjara baru.

Hal ini dapat dilihat dari bagaimana kerja domestik dan pembebasan kerja perempuan memiliki satu elemen yang sama dalam penegasannya: memerlukan kerasnya dukungan masyarakat bagi perempuan untuk terjun ke dalam salah satu dari sisi biner itu. Apabila dulu kehidupan idaman yang bisa dijalani perempuan adalah penyuplai cinta di rumah, perubahan ini mengarahkan perempuan menjadi penyuplai uang bagi rumah. Keduanya tidak berbeda dalam hal adanya cemooh dari masyarakat apabila tujuan ini tidak terpenuhi.

Tidak jarang kita temui dalam pembicaraan sehari-hari, ketika seorang perempuan yang berpendidikan tinggi memutuskan untuk mengurus rumah tangga daripada bekerja, ia mendapatkan cemooh. “Ngapain lu susah-susah lulus kuliah kalau akhirnya ngurus bayi doang?” gerutu seorang pemuda kepada temannya dalam percakapan. Percakapan seperti ini hanyalah satu miniatur kecil dari fenomena yang jarang dibicarakan namun cukup nyata dalam kehidupan kita sehari-hari, bahwa posisi pekerjaan domestik semakin dipandang sebelah mata.

Sekarang, dengan berdirinya konsep ‘wanita modern’ yang mampu memikul beban pemenuhan ekonomi bagi dirinya dan keluarga, apa implikasinya bagi pekerjaan domestik yang tergusur olehnya? Terlepas dari signifikansi besar pekerjaan domestik bagi kelangsungan pekerjaan-pekerjaan lain, ia dianggap sebagai kerja status rendah. Apabila dahulu pekerjaan domestik tak dihargai secara finansial, maka kali ini ia harus menghadapi realita pahit lainnya: tidak dihargai oleh masyarakat yang mabuk akan gelimang pesona ‘wanita tangguh’ tulang punggung keluarga.

Karenanya, ketika seorang perempuan memilih untuk menjadi seorang pekerja domestik atas kemauannya sendiri, pilihannya tidak berarti. Jika begini, esensi feminisme itu kembali lagi terlupakan. Apabila sejatinya tujuan utama feminisme adalah kesetaraan dan pembebasan pilihan wanita yang diinjak-injak patriarki, maka perubahan ini hanyalah menggeser penindas menjadi yang baru. Muncul lagi sebuah narasi mitos feminin yang memaksa perempuan untuk mengambil bentuk yang mungkin tidak diingininya. Ia merampas sebuah aspek penting dalam pemberdayaan: kehendak bebas.

Maka dari itu, konsep ‘wanita tangguh’ modern mungkin bukanlah sebuah keberhasilan feminisme.

Untuk mengenali bagaimana mitos seperti ini bisa bergeser dan mengikat kuat, kita bisa sekali lagi mengarahkan pandangan pada pendidikan. Feminisme, sama seperti Marxisme, meyakini bahwa pendidikan adalah agen sosialisasi dari sistem dominan yang ada. Apabila mitos feminin wanita sebagai pekerja domestik berkembang di bawah arahan masyarakat patriarki, maka mitos feminin pekerja bebas saat ini bisa jadi merupakan produk pendidikan berbasis industri.

Dalam sebuah jurnal yang dibawakan oleh Dabrowski (2020), disebutkan bahwa feminisme arus utama telah berubah haluan ketika dibajak oleh neoliberalisme. Ada pergeseran tujuan dari feminisme itu sendiri, dari murni sebagai pemberdayaan perempuan menjadi sebuah utama peningkatan nilai pasar lewat pemberdayaan ekonomi perempuan. Lanjut Dabrowski, feminisme jenis ini tidak memberdayakan perempuan secara universal, tetapi memunculkan kesenjangan sosial berbasis gender.

Oleh karena kesenjangan inilah ada cemooh terhadap pekerja domestik. Oleh karena inilah posisi pekerjaan domestik, yang semestinya masuk dalam ranah pilihan perempuan juga, menjadi semakin terkucilkan. Feminisme jenis inilah yang akhirnya memerosokkan perempuan ke dalam stigma dan penjara baru. Karena feminisme neoliberalisme bisa dengan mudah menjangkiti dunia, cara terbaik untuk membalikkannya adalah dengan de-edukasi.

Dalam dunia pendidikan yang berupaya untuk memaksimalkan potensi manusia sebagai penghasil komoditas, perlu diingat kembali bahwa ada perbedaan antara memberdayakan secara umum dan memberdayakan kondisi ekonomi. Mengerucutkan tujuan pendidikan ke arah pemberdayaan ekonomi sama saja merampas kehendak bebas peserta pendidikan, yang mana seharusnya menjadi esensi dari pendidikan dan feminisme itu sendiri.

Model-model yang diikuti oleh para peserta pendidikan tidak harus CEO A, B, atau C. Tidak harus J.K. Rowling atau Rhonda Rousey. Harus diingat bahwa seorang wanita yang mau menjadi seorang pekerja domestik meskipun ia saja bisa menjadi peneliti juga orang penting. Feminisme sejati hendaknya tidak mengkategorikan wanita kuat dari jabatan dan uang yang dihasilkannya. Seorang ibu yang dengan telaten mengajar anaknya matematika juga harus dipandang sebagai feminis kuat.

Sekali lagi, kita harus mengembalikan lagi esensi pemberdayaan. Tujuannya adalah mengembalikan kebebasan dan daya pada subyek yang telah direnggut dari kuasa itu. Selama pilihannya dihasilkan murni oleh kehendaknya dan bukan oleh manipulasi dan kuasa masyarakat, maka pilihan itu sah-sah saja dan tidak seharusnya dipersoalkan.

Bibliography

Beauvoir, S. d. (1949). The Second Sex. Vintage Classic.

Dabrowski, V. (2020). Neoliberal Feminism: Legitimising the gendered moral project of austerity. Economic and social research council.

Get in Touch

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terkait

Get in Touch

Latest Posts