“Didiklah seorang laki-laki, kau mencerdaskan seorang individu. Didiklah seorang perempuan, kau mencerdaskan keluarga dan bangsa.”
Sepintas, pernyataan Jawaharlal Nehru di atas ini terdengar seksis. Ia berkata seperti itu seolah-olah tanggung jawab mendidik anak adalah tanggung jawab perempuan semata. Terlepas dari innuendo bernada seksis dari ucapan Nehru, ada satu pesan penting yang tak bisa kita abaikan dari sini. Seorang ibu yang terdidik dapat berkontribusi besar bagi kebaikan keluarga.
Kekerasan dalam rumah tangga sepertinya tak menunjukkan tanda-tanda perbaikan di Indonesia. Bentuk kekerasan itu bisa bermacam-macam, mulai dari kekerasan verbal seperti hinaan, devaluasi, ancaman, hingga kekerasan fisik seperti penganiayaan. Pelakunya bisa siapa saja dalam rumah tangga, termasuk anak itu sendiri. Bahkan, di Bantaeng, Sulawesi Selatan, seorang remaja berusia 16 tahun dibantai keluarganya demi kehormatan karena ia kedapatan berkencan.
Penjelasan akan kejadian itu mulai dibuat. Ada yang menyebutkan bahwa honor killing tersebut adalah gejala tumbuhnya ekstremisme Islam di Indonesia. Ada yang menyebutkan bahwa ini adalah gejala kebangkitan lagi budaya siri yang sempat kuat dalam masyarakat Bugis. Ada lagi yang berpendapat bahwa ini diakibatkan oleh kebutuhan semu sang pembunuh untuk menegaskan maskulinitas dirinya.
Apapun itu, semuanya berakar pada masalah yang sama: keluarga yang membiarkan masuknya pandangan hidup status quo pada anaknya hingga mereka merasa punya obligasi untuk bertindak sesuai dengan nilai itu. Knafo-Noam (2020) dalam studinya mengungkapkan bahwa di antara orangtua dan anak ada transmisi nilai yang membuat mereka memegang nilai yang sama hingga pada titik tertentu.
Masalahnya, ketika keluarga adalah titik pembelajaran moral pertama dalam keluarga, mereka justru mengajarkan ketidakadilan dan ketimpangan sebagai sesuatu yang harus dihidupi (Satz, 2004).
Ini sudah menjadi permasalahan dalam banyak sekali keluarga konservatif di Indonesia. Nilai-nilai yang mereka internalisasi dari pendidikan yang diberikan oleh status quo kemudian mereka turunkan kepada anak-anak mereka tanpa ada upaya mengkritisinya. Akhirnya, tak adanya kemauan untuk merevisi pemahaman mengenai struktur dan nilai keluarga (Demo, 1992). Apabila ada suatu budaya bengis dan destruktif seperti honor killing, mereka akan menurunkannya seolah itu adalah hal yang lumrah.
Dalam struktur tradisional keluarga Indonesia di mana sosok ibu menjadi sumber ilmu primer bagi anak, maka perlu ada sebuah pertanyaan yang diajukan: seberapa besar kontribusi seorang ibu dalam mematenkan nilai-nilai status quo seperti siri di atas tadi? Dan lebih penting lagi, sejauh manakah pendidikan seorang ibu mampu berkontribusi bagi keluarga yang lebih harmonis ketika ia bekerja domestik?
Dalam kasus pembunuhan demi kehormatan yang terjadi di Bantaeng, ada dua masalah yang sebenarnya sudah lama menjadi kritik feminisme terhadap keluarga konservatif, yakni:
1) memaksa perempuan untuk patuh secara penuh, dan memaksa laki-laki untuk merasa bahwa mereka superior. Ini terefleksi dari bagaimana kedua kakak laki-laki korban merasa bahwa mereka berhak membunuh adiknya karena tidak berperilaku sesuai norma yang dipegang keluarga.
2) memaksa wanita untuk menerima peran istri yang tunduk kepada otoritas pria. Hal ini membuat ibu korban tidak berdaya ketika melihat putrinya dibunuh di hadapannya.
Jika sang ibu tidak tunduk pada nilai-nilai sosial yang ia anut dan mungkin turunkan kepada anak-anaknya, ia bisa saja mengintervensi pembunuhan itu, atau bahkan kejadian itu tidak pernah terjadi. Karena ia menganut nilai yang sama dengan suaminya dan keenam anggota keluarga lain yang menyaksikan pembantaian itu, akhirnya tidak ada yang menghentikan pembunuhan itu. Bahkan, katanya, korban saat itu pasrah, seakan ia merasa bahwa itu adalah sesuatu yang pantas dijatuhkan padanya.
Allen (1992) mengajukan sebuah ide dalam risalahnya mengenai revolusi bentuk keluarga. Daripada bergantung pada tatanan hidup dan hierarki yang sudah ada, pendidikan keluarga berbasis feminisme memberikan sebuah cetak biru yang membantu perempuan dalam menyuarakan dan melawan ketertindasannya dalam lingkup keluarga. Tidak ada hierarki seperti dalam kasus keluarga Bantaeng di mana kedua kakak punya wewenang untuk memperlakukan korban seperti itu.
Ia menyebutkan bahwa hal paling mendasar dalam perjalanan merevolusi keluarga lewat feminisme adalah apresiasi terhadap hak seseorang dalam menentukan siapa dirinya. Diri seorang wanita dalam keluarga tidak ditentukan oleh definisi gender yang ditetapkan oleh sistem. Sang korban selayaknya punya hak untuk menentukan siapa yang akan ia kencani atau hubungan seperti apa yang ia jalani, bukan kakak-kakaknya atau ayahnya.
Terkait motif pembunuhan yang didasarkan pada rasa malu, perlu ada revolusi mengenai konsep malu itu sendiri. Rasa malu bukanlah sesuatu yang terbentuk secara esensial; ia adalah perasaan tertentu yang menjadi respon atas konstruk masyarakat (Reiss, 1990). Karena itu, korban seharusnya berhak menentukan apa yang membuatnya merasa malu atau tidak, bukan dua orang laki-laki yang sama sekali tidak ada hubungannya dengannya.
Ibu, sebagai gender yang lebih berpotensi termarjinalkan daripada seorang ayah, seharusnya bersuara dalam menentang ketidakadilan seperti ini. Tanpa adanya kesadaran mengenai pentingnya perlawanan di tingkat seperti ini, pada akhirnya nilai-nilai ini tidak akan pernah pudar. Sebuah pergeseran paradigma besar tentang gender dan posisi anggota keluarga sangat penting untuk memberikan fondasi bagi adanya keluarga yang lebih sehat, saling mengayomi, dan stabil.
Salah satu aspek pendidikan feminis lain yang penting untuk diperhatikan di sini adalah tentang hak reproduktif. Salah satu penalaran di balik pembunuhan demi kehormatan adalah soal reproduksi. Rasa takut irasional keluarga akan kelahiran anak di luar pernikahan membuat keluarga-keluarga ini mengurung anak perempuannya hingga pernikahan. Hal ini pula yang ditengarai mendasari alasan mengapa sebelum membunuh adiknya, para pelaku berusaha mencari pria yang mau menikahi adiknya—bahkan menyandera dua orang untuk dipaksa menikahi adiknya.
Kejadian ini juga harus menjadi pengingat betapa pentingnya bagi masyarakat untuk tidak memiliki hak reproduksi seseorang. Feminisme menekankan bahwa reproduksi seseorang sepenuhnya menjadi hak personal, bukan suami, bukan keluarga, bukan masyarakat. Seandainya saja sang korban dan ibunya menyadari hal ini, tentu mereka tidak akan pasrah menyerahkan nasib korban pada kekejian kakak korban yang notabene laki-laki yang tak memahami dan menghormati hak reproduksi adiknya.
Kemudian, yang lebih fundamental dalam pendidikan feminis keluarga ini, kesetaraan manusia. Siapakah kakak-kakak korban hingga mereka merasa punya wewenang untuk menentukan apa yang harus dilakukan oleh sang adik dan kapan nyawa adiknya harus berakhir? Di sini, kita bisa melihat seperti apa relasi dan posisi sang adik dalam keluarga konservatif ini. Sang korban menjadi subordinat yang harus tunduk pada kebiadaban kakak laki-lakinya sebagai sosok otoriter. Apakah ini akan terjadi jika sejak kecil sang ibu mengajarkan kepada mereka bahwa mereka bertiga setara terlepas dari bentuk kelamin mereka atau pandangan masyarakat terhadap mereka?
Akhirnya, sang korban mati karena kebodohan dan tidak adanya pendidikan. Tidakkah ia punya hak untuk menyuarakan pandangannya, mengekspresikan keinginannya, dan memilih jalan yang ia mau? Mengapa seorang remaja harus dianiaya dan dibunuh hanya karena kepatuhan pada konsep-konsep bentukan masyarakat yang tidak berbentuk, bahkan irasional? Pendidikan feminis dapat menjadi media—meskipun tidak sampai praxis—reflektif bagi manusia untuk kembali berpikir, mengapa ada yang dimanusiakan dan mengapa ada yang tidak dimanusiakan.
Bibliography
Demo, D. H. (1992). Parent-child relations: Assessing recent changes. Journal of marriages and family.
Knafo-Noam, A. (2020). Parent-Child Value Similarity: Broadening from Intergenerational Transmission to Reciprocal Influences, Genetics, and Environmental Antecedents The Oxford Handbook of Moral Development: An Interdisciplinary Perspective. Oxford Press.
Reiss, I. (1990). An and to shamew: Shaping our next sexual evolution. Prometheus.
Satz, D. (2004). Feminist perspectives on reproduction and the family. Stanford Encyclopedia of Philosophy.