Kurikulum merupakan hal sentral dalam dunia pendidikan, tidak hanya di negara-negara dunia ketiga, tapi di seluruh dunia. Bahkan bisa dikatakan bahwa nilai dan norma sosial yang ada dalam satu bangsa itu tertanam dalam kurikulum pendidikan nasionalnya.
Apple (1979) mendefinisikan kurikulum sebagai sebuah alat dimana nilai, kebutuhan, kepentingan, dan tujuan dari sebuah masyarakat atau bangsa diartikulasikan dan disampaikan sebagai pengalaman belajar untuk pengembangan individu dalam proses belajar mengajar.
Di berbagai negara-negara berkembang, kurikulum seringkali berubah. Menurut Guthrie (1986), perubahan ini terjadi karena banyak negara yang telah merdeka dari penjajahan membutuhkan sumber daya manusia yang sesuai dengan kebutuhan nasional negaranya. Ironisnya, banyak perubahan berasal dari reaksi inovatif yang terjadi di negara bekas penjajah mereka. Warisan kolonialisme dalam pengembangan kurikulum menjadi masalah besar lain dalam perubahan kurikulum dan pendidikan di negara-negara berkembang.
Seperti yang telah diketahui, kurikulum di negara-negara berkembang banyak yang ‘meminjam’ dan dipengaruhi oleh negara-negara bekas penjajahnya. Hal ini cukup merepotkan bagi negara-negara berkembang. Misalnya merujuk pada penelitian Memon (1997), perubahan kurikulum yang terjadi, khususnya di Pakistan, merupakan dampak langsung dari revolusi teknologi akibat peluncuran Sputnik di tahun 1957.
Berangkat dari peristiwa tersebut, banyak negara-negara barat yang merasa perlu untuk mengubah kurikulumnya secara menyeluruh dan hal serupa dilakukan pula oleh negara-negara berkembang, mengingat banyak negara berkembang yang ‘meminjam’ keseluruhan kurikulum mereka dari negara-negara barat tersebut. Contoh yang diambil oleh Memon adalah Pakistan. Menurut Memon, perubahan kurikulum di Pakistan menjadi sangat berfokus kepada para pelajar (student-centered), pembelajaran secara individu, dan penyelesaian masalah. Hal ini menghasilkan kurikulum yang sangat memerhatikan keberhasilan organisasi, bukannya individu, yaitu para siswa.
Ketika perubahan kurikulum secara tradisional dipandang sebagai pilihan yang paling baik untuk melakukan reformasi pendidikan, timbul beberapa masalah di dalamnya. Berbagai penelitian telah dilakukan di Pakistan (Memon, 1997), Afrika Selatan (Govender, 2018; Rogan & Grayson, 2003; Stoffels, 2005), Uganda (Altinyelken, 2009), Zimbabwe (Madondo, 2020), dan berbagai negara berkembang lainnya, implementasi perubahan kurikulum ini banyak yang menggunakan pendekatan top-down.

Para ahli yang merancang kurikulum, biasa disebut superordinate group, membuat sebuah ‘kurikulum resmi’ yang mereka paksakan kepada subordinate group untuk diimplementasikan dan digunakan. Tentu hal ini rawan konflik karena nilai dari kedua kelompok ini berbeda. Selain itu, hal ini menciptakan ketidakcocokan antara ‘kurikulum resmi’ dan ‘kurikulum dalam pelaksanaan’.
Contoh lain berasal dari Afrika Selatan, di mana pada pelaksanaan Curriculum 2005 (C2005), guru-guru banyak yang mendapatkan bantuan Foundation for Learning Campaign (FFLC) yang merupakan inisiatif dari pemerintah. Guru-guru diberikan bantuan dalam kegiatan belajar mengajar, dukungan untuk ruang kelas, serta bimbingan dan program pengembangan profesional. Namun, hasil penelitian Govender (2018) menunjukkan bahwa guru-guru banyak yang tidak puas terhadap dukungan yang diberikan oleh FFLC. Menurut mereka, pelatihan-pelatihan yang diberikan tidak sesuai dengan kondisi di lapangan dan durasinya kurang lama. Selain itu, bimbingan dan program pengembangan profesional yang ditawarkan oleh FFLC pun tidak berkelanjutan, hal ini menyulitkan guru dalam proses adaptasi terhadap kurikulum baru.
Senada dengan Govender, Altinyelken (2010) yang meneliti tentang perspektif guru terhadap kurikulum baru di Uganda, yaitu kurikulum tematik yang diresmikan pada 2007, juga menemukan masalah serupa dengan Govender. Kurikulum tematik memang memiliki tujuan baik yang perlu diapresiasi, namun dalam pelaksanaannya, guru banyak yang merasa keberatan dalam beradaptasi terhadap kurikulum baru ini. Hal ini diperburuk dengan masalah struktural dalam sistem pendidikan di Uganda, seperti ruang kelas yang terlalu sesak, kurangnya bantuan dan fasilitas untuk proses belajar mengajar, serta kurangnya pelatihan untuk guru.
Seperti hasil penelitian Jennings (1993), masalah utama dalam pelaksanaan kurikulum baru di negara-negara berkembang ini adalah proses implementasi yang seperti terpisah dari proses perumusan dan pembuatan kurikulum.
Menurut Jennings, hal ini bisa diatasi jika manajemen dalam pelaksanaan kurikulum baru menjadi lebih efektif. Guru-guru sebagai pelaksana kurikulum baru harus dilibatkan di dalamnya. Caranya dengan memberikan mereka pelatihan yang terkait dengan kurikulum baru serta teknologi yang akan digunakan dalam proses belajar mengajar. Tak hanya berhenti di sana, para kepala sekolah juga harus diberikan pelatihan yang dapat membuat mereka berfungsi sebagai agen dalam penerapan kurikulum baru.
Perubahan kurikulum memang tidak pernah lepas dari berbagai kritik. Bahkan Montero-Sieburth (1992) menilai bahwa kritisisme terhadap perubahan kurikulum seharusnya diperluas lagi, sehingga kurikulum tidak dianggap sebagai sebuah entitas yang beroperasi dalam ruang hampa, melainkan sebagai salah satu fitur dari proses pendidikan yang bekerja bersama dengan seluruh rangkaian pendidikan yang ada. Sehingga kurikulum ini dapat menjadi alat yang berguna dan inklusif dalam proses belajar mengajar.
Daftar Pustaka
- Altinyelken, H.K. (2010). Curriculum change in Uganda: Teacher perspectives on the new thematic curriculum. International Journal of Educational Development, 30, pp. 151-161.
- Apple, M.W. (1979). Ideology and Curriculum. London: Routledge.qualifications frameworks. Progress in Development, Vol. 7 , No. 1, pp. 65-78.
- Chirwa, G., Naidoo, D. (1997). Curriculum Change and Development in Malawi: A Historical Overview. Mediterranean Journal of Social Sciences, Vol. 5, No. 16, pp. 336-345.
- Govender, S. (2018). South African teachers’ perspectives on support received in implementing curriculum changes. South African Journal of Education, Volume 38, Supplement 2, pp. S1-S12.
- Guthrie, G. (1986). Current Research in Developing Countries: The Impact of Curriculum Reform on Teaching. Teaching & Teacher Education, 2, No. 1, pp. 81-89.
- Jennings, Z. (1993). Curriculum Change in School Systems in the Commonwealth Caribbean: Some Implications for the Management of Curriculum Development. J. Educational Development, Vol. 13. No. 2. pp. 131-143.
- Madondo, F. (2020). Perceptions on Curriculum Implementation: A Case for Rural Zimbabwean Early Childhood Development Teachers as Agents of Change. Journal of Research in Childhood Education, https://doi.org/10.1080/02568543.2020.1731024.
- Memon, M. (1997). Curriculum Change in Pakistan: An Alternative Model of Change. Curriculum and Teaching, 12, No. 1, pp. 55-64.
- Montero-Sieburth, M. (1992). Models and Practice of Curriculum Change in Developing Countries. Comparative Education Review.
- Rogan, J.M., Grayson, D.J. (2003). Towards a theory of curriculum implementation with particular reference to science education in developing countries. International Journal of Science Education, Vol. 25, No. 10, pp. 1171-1204.
- Stoffels, N.T. (2005). ‘Sir, on what page is the answer?’ Exploring teacher decision making during complex curriculum change,with specific reference to the use of learner support material. International Journal of Educational Development, 25, pp. 531-546.
Baca Juga: